JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Sekolah daring bikin darting (darah tinggi, Red). Kalimat itu menghiasi unggahan ibu-ibu di perkotaan sejak pandemi Covid-19 melanda. Rumitnya adaptasi teknologi dan mengajari anak jadi alasan. Namun, bagi mereka yang tinggal di tempat terpencil, mengecap pendidikan via online menjadi hal mewah yang butuh perjuangan.
Badan Anak PBB (UNICEF) dalam laporannya pada Rabu (26/8) memperkirakan ada sekitar 1,5 miliar anak di seluruh dunia yang terdampak lockdown. Sekolah mereka ditutup sementara karena pandemi. Dari jumlah tersebut, sekitar sepertiganya atau setara 463 juta anak tidak bisa mengakses pembelajaran online.
Jika diperinci, 67 juta anak yang tidak bisa melakukan pembelajaran daring ada di negara-negara Afrika Timur dan Selatan, 54 juta anak di Afrika Barat dan Tengah, 80 juta di negara-negara Pasifik dan Asia Timur, 37 juta di Timur Tengah dan Afrika Utara, 147 juta di Asia Selatan, serta 13 juta di Amerika Latin dan Karibia.
"Banyaknya anak yang pendidikannya benar-benar terganggu selama beberapa bulan terakhir adalah kondisi darurat pendidikan," papar Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore sebagaimana dikutip Agence France-Presse.
Mereka yang tinggal di negara-negara maju seperti Eropa tidak terlalu terdampak. Internet bisa diakses dengan mudah dan fasilitas tersedia. Namun tidak demikian bagi anak-anak yang tinggal di Afrika dan sebagian wilayah Asia. Kemewahan berupa jejaring internet dan gadget rata-rata hanya ada di perkotaan.
Laporan UNICEF itu berdasar data yang dikumpulkan dari 100 negara. Mereka mengukur kemampuan akses publik ke internet, televisi, dan radio. Kendala lain yang dihadapi siswa ketika belajar di rumah adalah masalah teknis dan lingkungan yang tidak memadai. Alih-alih belajar, mereka kadang justru dipaksa orang tunya untuk bekerja.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi