NIKMATNYA RAMADAN DI TANAH SUCI (1)

Selain Kurma, Tisu pun Disedekahkan

Internasional | Selasa, 28 Agustus 2012 - 08:40 WIB

 Selain Kurma, Tisu pun Disedekahkan
BERBUKA: Beginilah suasana berbuka puasa di Masjid Nabawi, Madinah, belum lama ini. Kebutuhan berbuka puasa para jamaah terlayani dari sedekah yang diberikan para dermawan. foto:syamsul bahri samin/riaupos

Catatan SYAMSUL BAHRI SAMIN, Arab Saudi

Alhamdulillah, niat menunaikan ibadah umrah di bulan Ramadan terkabulkan. Niat ini sudah terhujam setahun lalu saat saya bersama keluarga berkesempatan menunaikan ibadah umrah pertama kami.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Saat itu, salah satu doa saya di Multazam —tempat doa diijabah—, agar saya dan keluarga bisa datang lagi ke Tanah Haram ini tahun depan bertepatan di bulan Ramadan.

Meski sudah pernah umrah sebelumnya, keberangkatan kali ini sungguh terasa berbeda. Rasa was-was sempat juga menggelayut ketika mendapatkan kabar bahwa suhu di Tanah Suci cukup panas, hampir 50 derajat celcius.

Rasa was-was itu lebih disebabkan karena saya berangkat bersama sang bunda yang baru saja sembuh dari sakitnya.

Kabar itu benar adanya. Saat keluar dari pesawat Singapore Airlines di Bandara King Abdul Azis Jeddah, panas langsung menyengat seperti ketika kita melewati bara api, padahal saat itu sudah menjelang Maghrib. Belakangan diketahui suhu Jeddah saat itu 48 derajat.

Rasa panas ini benar-benar menjadi ujian tersendiri. Sebab, rombongan jamaah umrah yang berangkat difasilitasi Muhibbah Mulia Wisata Travel ini harus berpuasa lebih lama disebabkan perbedaan waktu Tanah Air dan Arab Saudi empat jam ditambah lagi waktu berbuka di Arab Saudi lebih lama; pukul 19.05 WAS (Waktu Arab Saudi).

Alhamdulillah, hari itu semua rombongan bisa melalui hari berat itu, termasuk Dila (8) jamaah termuda yang ikut dalam rombongan umrah. Dila tidak mau membatalkan puasanya, meski sudah terlihat sangat berat.

Usai berbuka puasa dan melalui proses imigrasi, perjalanan dilanjutkan ke Madinah menggunakan bus sekitar lima jam. Jarak tempuh Jeddah-Madinah sekitar 500 Km, sebuah jarak yang akan terasa jauh untuk ukuran jalan di Indonesia.

Untung saja jalanan di Arab Saudi mulus tidak seperti di Tanah Air, sehingga waktu tempuh berjam-jam itu bisa dimanfaatkan jamaah untuk beristirahat. Bagi yang baru pertama kali ke Tanah Suci, perjalanan panjang ini menjadi pengalaman tersendiri dan nikmat tersendiri pula.

Sekitar pukul 03.00 dinihari, rombongan tiba di Madinah. Rasa syukur dan haru berbaur dalam suasana hembusan udara panas Madinah yang tak kalah menyengat dibanding Jeddah.

Kemilau cahaya di Masjid Nabawi terlihat jelas, karena jarak hotel tempat kami menginap hanya sekitar 75 meter dari halaman Masjid Nabawi.

Jamaah dari berbagai negara terlihat memadati jalan-jalan dan pelataran masjid. Mereka ada yang menuju masjid dan ada pula yang pulang ke hotel —mungkin— untuk santap sahur.

Kondisi ini seperti memberi magnet tersendiri bagi rombongan kami untuk secepatnya menginjakkan kaki di masjid tempat Rasulullah dimakamkan itu. Rasa lelah di perjalanan non-stop hampir 24 jam itu menjadi sirna oleh suasana di Masjid Nabawi.

Jumlah jamaah yang memadati kawasan Masjid Nabawi memang jauh lebih ramai dibandingkan hari-hari di luar Ramadan. Bahkan, menurut rekan yang pernah berhaji, jumlah jamaah umrah Ramadan ini lebih ramai dibandingkan pada musim haji.

Jika di luar Ramadan kita tidak sulit mendapatkan tempat di dalam masjid meski ke masjidnya ketika waktu salat hampir masuk, pada saat Ramadan perlu perjuangan ekstra untuk bisa mendapatkan tempat di dalam masjid.

Tidak ada cara lain, agar dapat tempat di dalam masjid, berangkat ke masjidnya harus lebih awal, minimal satu jam sebelum waktu salat tiba. Jika tidak, bersiaplah salat di pelataran masjid yang tidak saja suhunya panas, tapi keramik tempat sujud pun menyengat.

Menikmati hari-hari Ramadan di Madinah benar-benar sulit digambarkan. Selain benar-benar menyenangkan, banyak pengalaman yang bisa dipetik dan sangat bisa diaplikasikan di Tanah Air.

Salah satu pengalaman baru bagi saya adalah menikmati berbuka puasa di Masjid Nabawi. Sungguh sebuah kenyataan di luar realita Tanah Air.

Semangat bersedekah benar-benar terlihat di sana. Dalam penyediaan menu berbuka puasa misalnya, masyarakat Madinah berlomba-lomba membooking tempat.

Tak tanggung-tanggung, ada yang membooking tempatnya cukup luas. Sehingga ruang dalam masjid ditambah pelatarannya, semua terisi bentangan plastik panjang tempat berbuka puasa.

Caranya pun cukup praktis. Usai Salat Ashar, mereka yang bersedekah dibantu petugas kebersihan masjid dan juga keluarganya langsung membentangkan plastik panjang di sela-sela shaf jamaah.  

Dalam sekejap, masjid yang cukup luas dengan jutaan jamaah itu, sudah terisi bentangan plastik. Sehingga jangan takut tidak kebagian makanan saat berbuka tiba. Bahkan, makanan yang tersedia sering berlebih dan kembali disedekahkan kepada jamaah untuk dibawa pulang ke hotel.

Seusai Salat Ashar, kesibukan menyambut buka puasa benar-benar terlihat. Kesibukan mereka membawa makanan dari luar masjid berbaur dengan kesibukan masing-masing jamaah.

Umumnya, jamaah Salat Ashar tidak lagi kembali ke hotel. Mereka lebih memilih menghabiskan waktu menanti berbuka puasa itu dengan membaca Alquran atau ada juga yang berbaring.

Menu yang disajikan cukup variatif. Ada kurma, roti, yoghurt, dan air zam-zam, termasuk kopi Arab yang rasa jamu itu. Kurma yang disajikan itu pun bukan kurma murahan, tetapi kurma pilihan termasuk ajwa (kurma nabi) yang harganya mencpai 120 riyal per kilo, setara Rp300 ribu.

Bagi jamaah yang baru datang dan belum mendapatkan tempat berbuka, tak perlu khawatir. Sebab, akan sangat banyak yang akan meminta Anda untuk duduk di tempat yang sudah mereka siapkan.

Bahkan, tidak sedikit yang menggunakan petugas khusus mencari jamaah yang belum kebagian tempat agar mau berbuka di tempat yang mereka siapkan.

Ketika azan Magrib berkumandang, berbuka puasa pun dilaksanakan. Semua jamaah dari berbagai negara membaur jadi satu menyantap hidangan ala Arab Saudi ini.

Waktu untuk berbuka tidak lama, hanya sekitar lima menit. Setelah bilal mengumandangkan iqomah, aktivitas berbuka dihentikan dan semua jamaah berdiri untuk salat.

Lalu bagaimanan dengan sisa-sisa makanan berbuka? Tidak ada masalah, sebab dalam hitungan detik, plastik panjang yang dibentangkan sebagai alas yang berisi sisa-sisa makanan, akan digulung dan dimasukkan oleh petugas kebersihan ke dalam plastik yang sudah disiapkan. Masjid pun kembali bersih seperti semula tanpa meninggalkan tumpahan makanan maupun minuman.

Usai salat, umumnya jamaah kembali ke hotel untuk makan malam dan sesaat kemudian kembali lagi ke masjid untuk menunaikan Salat Isya dan Tarawih.

Dalam perjalanan pulang ke hotel, mulai dari dalam masjid kita kembali akan melihat jejeran orang-orang yang bersedekah. Berbagai macam bentuk sedekah yang mereka berikan.

Ada kurma, roti, air zam-zam, mengoleskan parfum ke tangan jamaah, sampai tisu pun disedekahkan. Pokoknya, apa yang bisa disedekahkan akan mereka berikan, termasuk sedekah yang gratis yaitu senyum.    

Tidak jauh berbeda, suasana berbuka dan semangat bersedekah di Masjid Nabawi juga terlihat di Masjidil Haram, Makkah. Jamaah tidak perlu takut kelaparan karena tidak kebagian jatah berbuka. Jutaan jamaah akan terlayani dengan berbagai menu makanan yang disedekahkan.

Hanya saja, menu berbuka di Masjidil Haram tidak selengkap dan semewah di Masjid Nabawi. Terkadang, di berbagai tempat yang disediakan hanya ada kurma dan air zam-zam. Tapi, menu yang ada tetap saja mampu mengusir dahaga dan lapar menjelang jamaah mendapatkan menu makan malam di hotel.

Realita itu berlangsung setiap hari. Tidak satu pun jamaah yang tidak terlayani, meski jumlah jamaah yang terkonsentrasi di Masjidil Haram terus bertambah padat menjelang akhir Ramadan.

Membludaknya jamaah khususnya sepuluh hari terakhir Ramadan, tidak lain karena jamaah ingin mengikuti salat malam di Masjidil Haram.

Faktor lainnya tentu saja mengharapkan mendapatkan lailatul qadar —malam yang lebih baik daripada seribu bulan— yang banyak diyakini turun sepuluh malam terakhir Ramadan khususnya di malam-malam ganjil.

Selain menu berbuka puasa, di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram juga tersedia menu sahur, khususnya untuk jamaah yang beriktikaf di masjid. Menu ini juga berasal dari sedekah. Menu sahur disajikan usai salat qiyamul lail (salat malam) yang berakhir hampir pukul 03.00 WAS.

Di luar tradisi berbuka puasa dan sahur, semangat bersedekah di Tanah Suci juga bisa disaksikan di dekat Kakbah. Warga yang berdesakan melakukan tawaf, seringkali disodorkan tisu untuk menghapus keringat.

Bahkan, sesekali terasa tubuh seperti diguyur gerimis. Air itu tidak lain berasal dari jamaah yang menyemprotkan air ke udara untuk mengurangi rasa panas yang menyengat.

Tradisi yang sudah berkembang lama di Tanah Suci ini semestinya dikembangkan di Tanah Air, sebab di saat Ramadan banyak juga para musafir yang berhenti berbuka di masjid sementara mereka tidak membawa makanan.

Selain itu, bersedekah tidak saja harus di saat Ramadan tapi bisa di bulan-bulan lainnya.

Yang terpenting, semangat bersedekah ini mesti diaplikasikan oleh semua lapisan masyarakat, karena sedekah tidak selamanya harus dengan harta benda maupun uang.

Sebab, masih banyak sedekah yang gratis. Salah satunya adalah senyum, dan oleh sebab itu tersenyumlah.(ila/bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook