CARACAS (RIAUPOS.CO) - Dunia mengenal Juan Guaido sebagai presiden bayangan di Venezuela. Kini politikus yang menjabat ketua parlemen itu mulai keluar dari area gelap. Tak lagi jadi bayangan. Belakangan, dia mulai merambak area terang. Bahkan terang-terangan menggalang kekuatan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Nicolas Maduro.
Rasanya mustahil membahas Venezuela tanpa menyinggung Hugo Chavez. Mentor Maduro itu adalah politikus yang menyemaikan sosialisme di negara tersebut pada abad ke-21. Ketika itu, pengaruh Bolivarianisme mulai luntur.
Sosialisme lantas berkembang pesat. Di bawah kendali Chavez, Venezuela bertahan sebagai salah satu negara terkaya di dunia.
Namun, kemakmuran tersebut ikut lenyap setelah Chavez wafat pada 5 Maret 2013. Penerus Chavez, Maduro, gagal mempertahankan negara berjuluk The Land of Grace itu sebagai kekuatan ekonomi Amerika Latin.
Enam tahun menjabat, pemimpin 56 tahun tersebut justru membawa Venezuela ke dalam krisis. Hiperinflasi melanda negara itu. Harga barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi.
Krisis tersebut memicu kericuhan di mana-mana. ’’Kata mereka, sosialisme pasti baik. Tapi, ternyata korupsi merajalela,’’ ujar Josue Hidalgo, desertir militer Venezuela, kepada New York Times.
Meski gagal dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden, Maduro menang lagi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2018. Awal bulan ini, dia resmi menjadi presiden lagi. Tapi, parlemen tidak lagi di bawah kendalinya.
Oposisi sukses menggusur dominasi kubu Maduro. Dan, oposisi yang menolak kemenangan Maduro dalam pilpres sarat kecurangan itu tidak mau berpangku tangan. Mereka memberontak. Guaido didapuk jadi presiden bayangan alias presiden sementara.
Perseteruan Maduro dan Guaido menjadi semakin seru setelah Amerika Serikat (AS) dan Rusia ikut-ikutan. Presiden Donald Trump menyatakan dukungannya terhadap Guaido. Maduro yang berang lantas mengusir semua diplomat AS dari Karakas dan menarik pulang seluruh diplomat Venezuela dari Washington. Bersamaan dengan itu, Rusia berkubu kepada Maduro. Moskow juga memperingatkan AS agar tidak kelewat batas dalam dukungannya terhadap Guaido.
Kemarin (26/1) Dewan Keamanan (DK) PBB membahas kekacauan politik Venezuela. Atas prakarsa AS, DK PBB membahas rancangan resolusi untuk mendukung Guaido. ’’Karena kondisi Venezuela yang memburuk, DK akan memberikan dukungan terhadap parlemen,’’ demikian bunyi pernyataan resmi draf resolusi tersebut. Tapi, draf itu pasti akan dicegat Rusia dan Tiongkok lewat veto. ’’Resolusi tersebut tidak akan lolos,’’ ujar Dubes Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia kepada Reuters.
Sementara itu, di dalam negeri, saat pengaruh Guaido semakin luas, Maduro berusaha menyikapinya dengan bijak. Dia mengajak rival politiknya tersebut berunding. Meksiko dan Rusia pun mengaku siap jadi penengah. Tapi, Guaido bergeming. Dia mengabaikan ajakan berunding itu.
Sejauh ini Maduro masih lebih kuat dari lawannya. Sebab, dia masih memegang kendali atas militer Venezuela. Guaido boleh mendapatkan simpati rakyat dan negara-negara sekutu AS. Namun, dia tetap tidak akan berkutik tanpa dukungan militer.
Para petinggi militer tetap solid mendukung Maduro karena menerima banyak fasilitas dari negara.
’’Berpisah dengan Maduro adalah jalan cepat menuju penjara,’’ ujar Brian Fonseca, pakar hubungan luar negeri Florida International University, kepada Washington Post. Para petinggi militer, menurut dia, tidak akan pernah meninggalkan Maduro. Demikian juga kaum elite politik. Namun, itu bukan berarti militer akan terus-terusan membela Maduro.(jpg)