DHAKA (RP) - Suasana duka menyelimuti warga Bangladesh, khususnya Kota Dhaka, kemarin pagi (24/4). Pada saat jam sibuk, sebuah bangunan delapan lantai yang menjadi lokasi sejumlah pabrik atau perusahaan garmen, tiba-tiba ambruk.
Korban jiwa pun berjatuhan karena perusahaan garmen yang berada di gedung Rana Plaza, Distrik Savar, pinggiran Dhaka, itu mempekerjakan ribuan buruh. Situs berita The Bangladesh Chronicle memberitakan bahwa korban tewas hingga kemarin sore sedikitnya 100 orang. Jumlah korban jiwa sangat mungkin terus bertambah karena masih banyak pekerja yang tertimbun.
Jenazah para korban tersebut ditemukan dan diangkat dari puing-puing gedung yang ambruk di kawasan yang terletak 24 kilometer sebelah barat laut Dhaka tersebut. Sebagian besar jenazah dikirim ke Enam Medical College Hospital. Sebagian lainnya berada di beberapa rumah sakit dan klinik lokal.
"Kami telah menerima 100 jenazah. Identitas mereka masih belum diketahui. Seluruhnya berada di beberapa rumah sakit dan klinik hingga pukul 16.45 tadi (kemarin sore, Red)," tutur Wahiduzzaman, OC DB (Distrik Dhaka) kepada UNB. Selain itu, lanjut dia, sedikitnya 200 korban luka berhasil diselamatkan
dan dievakuasi dari reruntuhan bangunan. Sebagian di antaranya kini berada dalam kondisi kritis di rumah sakit.
Sebelumnya, pejabat Kementerian Kesehatan Bangladesh menyebut bahwa korban tewas yang berhasil diangkat dari reruntuhan berjumlah 76 orang. Pemerintah Bangladesh pun mengumumkan hari ini (25/4) sebagai hari berkabung nasional. Pengibaran bendera nasional setengah tiang juga diinstruksikan di seluruh kantor pemerintah.
Perdana Menteri (PM) Sheikh Hasina menginstruksikan pengerahan empat tim penyelamat militer dan tim medis untuk melakukan operasi. "Mereka bekerja sama dengan petugas dari pemerintahan lokal," kata Abdul Kalam Azad, sekretaris pers kantor PM.
Sejumlah saksi mata menceritakan bahwa bangunan Rana Plaza, yang juga menjadi pusat perbelanjaan, ambruk tiba-tiba pada pukul 09.00 waktu setempat (pukul 10.00 WIB). Sesaat sebelum insiden itu, terdengar suara gemuruh seperti bunyi ledakan. Dari delapan lantai gedung yang ambruk, hanya bagian dasar yang tersisa. Lokasi kejadian terlihat mengerikan seperti baru diluluhlantakkan gempa bumi.
Petugas pemadam kebakaran dan polisi juga turun tangan dalam operasi penyelamatan hingga tadi malam. Dengan bantuan crane dan alat pemotong beton, tim penyelamat berupaya untuk menemukan korban yang masih hidup.
Korban tewas maupun luka dievakuasi dari lantai tertinggi dengan menggunakan lembaran kain yang ada di lokasi. "Upaya evakuasi terus dilakukan secara optimal. Tetapi, diperkirakan butuh waktu beberapa hari guna menuntaskan proses tersebut. Tragedi ini benar-benar luar biasa," ujar Zaehadul Islam, seorang komandan pemadam kebakaran.
Hiralal Roy, dokter di Enam Medical College Hospital, menuturkan bahwa sebagian besar korban tewas merupakan para pekerja pabrik garmen. ’’Jumlah korban bisa jadi akan bertambah karena banyak korban luka saat ini kritis,’’ jelasnya. Dia berharap ada dukungan dari rumah sakit lain maupun sumbangan darah.
Pejabat pemerintah setempat menyebut bahwa bangunan itu berdiri secara ilegal. Menteri Dalam Negeri Bangladesh Muhiuddin Khan memastikan bahwa bangunan tersebut melanggar aturan atau izin soal pendirian gedung. Apalagi, pemiliknya akhirnya juga mengakui hanya mengantongi izin pembangunan gedung tiga lantai.
Sejumlah pekerja juga mengeluhkan bahwa bangunan itu mengalami retak sejak Selasa malam (23/4). Para pekerja sebenarnya telah dievakuasi, tetapi para manajer pabrik lalu meminta mereka kembali bekeja beberapa jam kemudian.
"Hanya berselang satu jam setelah kami mulai bekerja, bangunan itu ambruk," ujar Mousumi, 24, seorang pekerja yang selamat. "Saya luka. Tapi, suami saya yang bekerja di lantai empat belum ditemukan," lanjutnya.
Diperkirakan 5000 orang bekerja di dalam bangunan yang juga ditempati pertokoan, bank, dan apartemen itu. Asosiasi Perusahaan dan Eksporter Garmen Bangladesh (BGMEA) menyatakan bahwa sejumlah perusahaan garmen yang ada di Rana Plaza mempekerjakan lebih dari 2.600 buruh. (AFP/AP/cak/dwi)