KABUL (RIAUPOS.CO) - Salah satu aktivis perempuan Afghanistan, Forouzan Safi, pernah turut memprotes Taliban sebelum akhirnya ditemukan tewas pada akhir Oktober lalu.
Safi dilaporkan meninggalkan rumah di hari itu dengan membawa paspor. Ia terlanjur yakin, ada seseorang yang akan membantu dirinya keluar dari Afghanistan.
Tak lama setelah meninggalkan rumah, ia ditemukan tewas penuh dengan peluru di tubuhnya bersama tiga perempuan lain, yang juga meninggal.
Berita kematian itu menggema di lingkungan aktivis yang selama ini terus berjuang agar perempuan mendapat hak-haknya di bawah kendali Taliban.
Safi merupakan pengacara hak-hak sipil dan dosen ekonomi di Kota Mazar-e-Sharif, Afghanistan bagian utara.
"Safi adalah salah satu dari banyak aktivis perempuan muda yang bermimpi punya kehidupan yang indah, punya hak, hidup damai, mengejar mimpi, tapi sayang dia tak bisa mewujudkan," kata teman Safi, Nilofar Ayoubi, kepada BBC.
"Dia merupakan salah satu pengunjuk rasa perempuan dari kelompok Mazar-i-Sharif yang memprotes usai 15 Agustus, dan dia serta tiga aktivis perempuan lain dikenali Taliban, dan mereka terperangkap sampai mati," kata Ayoubi lagi.
Ayoubi merupakan jurnalis dan aktivis yang meninggalkan Afghanistan untuk menyelamatkan diri. Meski sudah keluar dari negara itu, ia tetap terhubung ke jaringan aktivis perempuan di Kabul.
Menurut penuturannya, Safi tahu ada sesuatu yang salah jelang kepergian dirinya.
"Forouzan merasakan bahaya. Dia mengirim pesan kepada salah satu saudara kami beberapa hari sebelum kejadian," tutur Ayoubi.
"Dia tak merasa aman di Whatsapp dan dia menggunakan Signal."
Karena situasi sangat tegang ketika itu, lanjut Ayoubi, tak ada yang memperhatikan ketidakhadiran Safi di grup chat.
"Kemudian setelah beberapa hari muncul berita dan tubuhnya ditemukan, bersama dengan tiga saudari aktivis lain," ucap Ayoubi.
Beberapa aktivis mengaku menerima panggilan telepon, pesan dan email dari orang-orang yang mencurigakan. Mereka mengklaim bisa membantu siapa saja yang ingin meninggalkan Afghanistan. Target kemudian diminta membagi informasi personal dan diundang ke lokasi tertentu.
Sejauh ini, dua tersangka mengaku telah mengikat Safi dan perempuan lain di lokasi tempat mayat-mayat aktivis itu ditemukan.
Taliban mengumumkan para tersangka ditangkap sehubungan dengan pembunuhan itu. Namun, tak memberi pernyataan apa pun apakah mereka mengakui pembunuhan itu. Mereka hanya mengatakan kasus tersebut dialihkan pengadilan.
Ayoubi teramat yakin, pembunuhan yang menimpa tiga perempuan itu mampu meredam pergolakan perjuangan hak-hak perempuan di Afghanistan.
"Dengan pembunuhan ini, saya pikir Taliban berhasil menciptakan ketakutan dan kengerian dalam keluarga untuk menghentikan protes perempuan, anak perempuan, dan istri mereka."
Ia khawatir, jika terus seperti itu, dalam waktu singkat suara-suara perlawanan akan lenyap.
"Taliban benci pemikiran anak anak muda terpelajar ini, terutama ketika yang menyuarakan adalah perempuan," lanjut Ayoubi.
Menanggapi insiden itu, Direktur Asosiasi Human Right Watch untuk Hak-hak Perempuan, Heather Barr, buka suara.
"Taliban menciptakan lingkungan di mana perempuan seperti Safi benar-benar terancam," tutur Barr. "Dan sepertinya ada impunitas bagi orang-orang yang menyerang dan membunuh mereka."
Ayoubi mengatakan, Taiban telah menangkap setidaknya satu orang dari daftar nama-nama perempuan yang disebut pernah mengikuti protes menentang pemerintahan itu.
Taliban, katanya, mulai berkeliling, membaca nama-nama itu kemudian mengancam mereka.
"Jika kami bisa tahu nama dan jumlah pasti Anda yang hadir dalam protes, sangat mudah bagi kamu menemukan dan memburu Anda," ucap Ayoubi meniru pernyataan Taliban.
Salah satu perempuan yang mengkoordinir aksi di Afghanistan, mengatakan, Taliban sudah mengancam secara langsung.
"Mereka mengatakan akan membunuh saya dan keluarga saya jika saya melanjutkan aksi protes," kata perempuan itu, yang tak mau identitasnya disiarkan.
Ia dan para aktivis lain masih bersembunyi, sembari cemas bagaimana melanjutkan hidup yang penuh ketidakpastian itu dan dalam posisi tak punya pekerjaan.
"Saya sangat mencintai negara saya, tapi sejak Taliban (menguasai Afghanistan, red) itu menjadi seperti neraka dan kami terbakar di neraka ini."
Heather Barr mengatakan, situasi di Afghanistan sangat gelap. Orang-orang takut bagaimana Taliban menjalankan roda pemerintahan di Afghanistan.
"Kami hampir tiga bulan mencari tahu, dan kami belajar sebagian besar ketakutan itu memang benar adanya," ucap Barr.
Barr menilai, dari awal Taliban jelas berusaha melacak aktivis hak-hak perempuan dan aktivis hak asasi manusia lainnya.
"Dan bahkan jika mereka tidak membunuh orang-orang itu, mereka pasti berusaha menakut-nakuti mereka dan mencoba membungkam mereka," jelasnya seperti dilansir BBC.
Barr juga mempertanyakan apakah intimidasi terhadap aktivis hak-hak perempuan akan meningkat menjadi pembunuhan. Kematian Forouzan Safi memberikan jawaban yang mengerikan.
"Ini tampaknya menjadi pembunuhan pertama terhadap seorang aktivis hak-hak perempuan sejak 15 Agustus dan karena itu merupakan perkembangan yang sangat mengkhawatirkan," katanya.
Barr percaya PBB harus menyelidiki kejahatan khusus terhadap perempuan di Afghanistan.
"Harus ada penyelidikan, harus ada penyelidikan nyata tentang siapa yang membunuhnya, dan mengapa serta konsekuensi dan keadilan bagi keluarganya," katanya.
Sumber: BBC/News/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun