Prilaku Rasis di Amerika Meningkat

Internasional | Senin, 22 Juli 2013 - 09:12 WIB

WASHINGTON (RP) - Naiknya Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat pada 2008 disebut-sebut sebagai akhir rasisme di negara adidaya tersebut.

Sayangnya, data-data menunjukkan sebaliknya. Di bawah kepemimpinan Obama, presiden pertama kulit hitam itu, perilaku rasis rakyat Paman Sam justru semakin meningkat.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

  Itu didasarkan pada sebuah studi yang dilakukan Associated Press akhir tahun lalu. Berdasar survei, tampak bahwa  perilaku rasis, baik implisit maupun eksplisit, meningkat daripada survei empat tahun lalu saat Obama baru tampil sebagai orang nomor satu.

Pada studi paling mutakhir tersebut, 51 persen rakyat AS bertindak rasis secara eksplisit. Pada 2008, nilainya hanya 48 persen.

Ketika diukur dengan tes perilaku rasial secara implisit, jumlah rakyat AS yang punya sentimen terhadap antikulit hitam melonjak menjadi 56 persen. Padahal, angkanya adalah 49 persen saat pemilu 2008.

 Bukan hanya kepada warga kulit hitam, mayoritas warga AS juga menyimpan sentimen anti-Hispanik yang sangat tinggi. Berdasar survei AP pada 2011, 52 persen warga kulit putih non-Hispanik berperilaku anti-Hispanik.

Angka tersebut kemudian meningkat pada survei tahun lalu. Yakni, menjadi 57 persen.

Sejumlah studi membuktikan bahwa Obama tidak berbuat banyak dalam mengeluarkan kebijakan prominoritas. Warga kulit hitam masih tetap menjadi kelas nomor dua dalam bidang ekonomi dan hukum.

AS tetap bukan tanah yang ramah bagi minoritas, khususnya kulit hitam.

Pada 2012, proporsi orang kulit hitam yang dipenjara di Amerika lebih tinggi daripada di Afrika Selatan pada era apartheid. Orang kulit hitam di dalam lembaga pemasyarakatan yang menjalani hukuman percobaan, penjara, atau pembebasan bersyarat berjumlah lebih banyak daripada masa perbudakan pada 1850.

Selain itu, meski populasi warga Afrika-Amerika hanya 13 persen dari seluruh penduduk AS, 39 persen di antara seluruh tahanan dan narapidananya adalah kulit hitam.

"Singkatnya, bagi warga Afrika-Amerika, AS adalah sebuah wilayah yang luas ketidakadilan," ujar Michelle Alexander, penulis buku The New Jim Crow: Mass Incarceration in the Age of Colorblindnes.

Berdasar data National Urban League, LSM pembela hak-hak sipil, tampak bahwa dalam kurun 2009-2012, pendapatan rumah tangga warga kulit hitam menurun 11,1 persen. Itu lebih tinggi ketimbang penurunan pendapatan keluarga kulit putih (5,2 persen) dan keluarga Hispanik (4,1 persen).

Bahkan, jumlah penganggur warga kulit hitam rata-rata mencapai 14 persen atau dua kali lipat dari rata-rata orang kulit putih.

Dalam buku Documenting Desegregation disebutkan, kesetaraan rasial di dunia kerja sempat tercapai setelah 1960. Namun, perkembangannya berhenti pada 1980 dan terus memburuk di sejumlah industri sejak saat itu.

Penulis pembantu buku tersebut, Donald Tomaskovic-Devey, profesor di University of Massachusetts, memaparkan bahwa perilaku sosial masyarakat di AS sudah berubah. Sayangnya, perubahan tersebut bukan dalam tataran praktik.

"Sebagian besar warga kulit putih AS berpendapat bahwa kita harus hidup dalam sebuah masyarakat yang setara. Tapi, itu tidak benar-benar dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Dalam tingkat perilaku sehari-hari, kita belum beranjak dari era rasisme," tegasnya.(cak/c15/dos/zed)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook