Hubungan dua raksasa ekonomi Asia-Pasifik, Cina dan Australia, terus memburuk tahun ini. Kabar terbaru memberi sinyal bahwa perseteruan tersebut bakal berjalan lama. Australia bisa jadi pihak yang merugi.
(RIAUPOS.CO) - AUSTRALIA sudah kehilangan kesabaran. Pada Kamis (17/12), pemerintahan Scott Morrison mengadu ke World Trade Organization (WTO). Mereka meminta lembaga pengawas perdagangan global itu menyelidiki detail tarif impor yang diberlakukan Cina untuk produk barley alias jali dari Negeri Kanguru.
”Kami sudah berkali-kali memberikan peringatan untuk Cina. Kini saatnya kami memanggil wasit yang adil,” ujar Menteri Perdagangan Australia Simon Birmingham.
Untuk kali pertama, Australia merespons sanksi-sanksi ekonomi yang diberikan Cina. Sepanjang tahun, Cina menerapkan kebijakan yang menyasar langsung negeri di seberang khatulistiwa tersebut. Akses komoditas seperti minuman anggur merah, daging, dan kayu ke Cina terus menyempit.
Selama ini Australia tak pernah merespons. Pejabat hanya mengutuk tindakan Cina dan menyebutnya tidak adil. Namun, tampaknya aksi rezim Xi Jinping dirasa sudah keterlaluan. Pada 6 November silam, media melaporkan bahwa Cina secara tak resmi memboikot produk Australia.
Bloomberg melansir, pemerintah menghubungi langsung pelaku industri besar. Mereka meminta para pebisnis tak lagi memesan komoditas batu bara, jali, tembaga, gula, kayu, dan lobster dari Australia.
Nilai ekspor dari setiap komoditas itu mencapai triliunan rupiah. Terutama ekspor batu bara yang mencapai Rp149,7 triliun. ‘’Kalau memang betul (Cina memboikot batu bara, red), itu adalah pelanggaran aturan WTO,” ungkapnya.
Ekspor jali juga punya nilai sekitar 1 miliar dolar Australia (Rp10 triliun) pada 2017. Memang, beberapa tahun ini industri itu agak kesulitan produksi karena kemarau berkepanjangan. Namun, tarif impor Cina 80 persen jelas bakal memukul industri tersebut.
Cina bersikeras bahwa apa yang mereka lakukan itu benar. Mereka menduga Australia melakukan dumping. Karena itu, sanksi tarif tersebut bakal berlaku sampai pemerintah menyelesaikan penyelidikan.
Sebagaimana diketahui, dumping adalah cara menjual barang ke luar negeri dengan murah untuk mengurangi persediaan di dalam negeri. Dengan begitu, sebuah negara bisa menguasai pasar luar negeri, tetapi tetap mempertahankan harga di dalam negeri. ”Kami menolak alasan Cina terkait dengan tuduhan itu,” ujar Birmingham.
Perang dagang kali ini berbeda. Jika perang dagang yang melibatkan Cina dan AS diwarnai dengan saling balas kenaikan tarif dan larangan impor, balasan Australia terhadap sanksi Cina hanyalah laporan ke WTO. Sebab, posisi Australia memang di bawah Cina.
Portofolio dagang antardua negara itu mencapai 240 miliar dolar Australia per tahun. Nilai barang yang dikirim Australia ke Cina hampir mencapai dua kali lipat dari arus barang sebaliknya. Data berbicara, Cina adalah penadah 39 persen ekspor Australia.
Kalau saja Australia membalas, Cina pasti merespons. Aksi saling balas bisa berujung ke penangguhan, bahkan pembatalan China-Australia Free Trade Agreement (Chafta). ”Banyak komoditas dalam perjanjian tersebut yang merupakan aset vital bagi negara. Jadi, saya pikir kita tak boleh meninggalkan (perjanjian Chafta, red),” papar Madeleine King, jubir urusan perdagangan dari Partai Buruh Australia, kepada The Guardian.
Tak mudah mencari pasar untuk komoditas yang sedang disanksi Cina. Pasar jali terbesar Australia lainnya, Arab Saudi, tak akan mau menyerap sebanyak Cina. Pasar batu bara sudah pasti berkurang akibat isu perubahan iklim. Karena itulah, Australia sedang mencari jalan damai dengan datang ke WTO.
Pakar menuturkan bahwa WTO saat ini hanya bisa menjadi penengah, bukan pemutus. Sebab, Badan Pengadilan WTO saat ini tak memiliki hakim.(bil/c14/bay/das)
Laporan JPG, Jakarta