KAIRO (RIAUPOS.CO) - Hasil resmi referendum konstitusi Mesir menunjukkan kemenangan telak pendukung pemerintah sementara. Lebih dari 98 persen pemilih memilih ‘’ya’’ untuk menggantikan undang-undang dasar yang berlaku sejak pemerintahan Ikhwanul Muslimin di bawah Presiden Muhammad Mursi.
Hanya 1,9 persen yang menyatakan ‘’tidak’’. Hasil itu tidak mengagetkan publik Mesir. Sebab, referendum tersebut diboikot kelompok oposisi yang menganggap pemerintah saat ini tidak sah karena dibentuk melalui kudeta militer.
Komite Konstitusional Mesir menyatakan, jumlah partisipasi pemilih sudah diperkirakan sebelumnya. Sekitar 20 juta di antara 53 juta pemilik suara menyumbangkan pilihannya. Artinya, jumlah tersebut mewakili 38,6 persen pemilih. ‘’Ini adalah kesuksesan besar dengan angka partisipasi yang cukup tinggi,’’ terang Ketua Komisi Pemilihan Tinggi Mesir, Nabil Salib.
Pendukung gerakan politik Ikhwanul Muslimin yang saat ini terlarang di Mesir memboikot referendum pada 14-15 Januari lalu. Pendukung Presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis itu, Muhammad Mursi, menolak keras hasil referendum.
Aliansi Anti-Kudeta yang didominasi pendukung Mursi menegaskan penolakan mereka melalui akun Twitter. ‘’Angka 98,1 persen tidak bisa dianggap mewakili demokrasi sebenarnya. Hanya sebuah kediktatoran absolut,’’ kicaunya.
‘’Jika mereka yang hanya membawa poster ‘’pilih TIDAK’’ saja ditanggapi, apakah hasilnya harus kita akui?’’ lanjutnya. Kelompok Islamis pendukung Mursi melihat referendum pertengahan Januari lalu sebagai legitimasi kudeta terhadap pemerintahan sah.
Rancangan konstitusi tersebut menggantikan UUD yang disusun dalam pemerintahan Presiden Mursi sebelum dilengserkan militer Juli lalu. Referendum konstitusi sebelumnya dilaksanakan pada 2012 ketika Muhammad Mursi masih berkuasa. Namun, pelaksanaan itu diboikot kelompok sekularis dan angka keikutsertaan pemilih hanya 34 persen. Saat itu 64 persen pemilih menyatakan setuju dengan konstitusi baru.
Rancangan konstitusi tersebut disusun komite beranggotakan 50 orang yang hanya diisi perwakilan dari dua partai Islam. Mereka menganggap isi konstitusi itu tidak mencerminkan cita-cita revolusi yang berhasil menjatuhkan kekuasaan Hosni Mubarak.
Kelompok-kelompok perjuangan HAM menyatakan keprihatinan mereka tentang apa yang mereka sebut sebagai kondisi represi di Mesir. Mereka mencatat, lebih dari 2.200 orang tewas sejak pelengseran Mursi pada Juli lalu.
Suara dari komunitas internasional juga mengingatkan pemerintah Mesir terkait dengan upaya pembungkaman terhadap kelompok oposisi. Sabtu malam (18/1) waktu setempat, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry mendesak Mesir untuk mengimplementasikan secara penuh kebebasan dan penghormatan hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi baru.
‘’Eksperimen politik Mesir dalam berdemokrasi selama tiga tahun terakhir mengingatkan kita semua bahwa bukan sebuah pilihan yang menentukan demokrasi. Tapi semua langkah yang mengikutinya,’’ tuturnya.
Pemerintah interim, lanjut Kerry, telah berkomitmen pada proses transisi yang semakin menghargai hak demokrasi dan membawanya pada sebuah pemerintahan sipil yang terbuka melalui Pemilu bebas. ‘’Sekaranglah saatnya untuk merealisasikan komitmen tersebut,’’ tegasnya.(cak/c16/tia/jpnn/fia)