BEIJING (RIAUPOS.CO) - Protes PBB atas dugaan penahanan sekitar satu juta muslim Uighur kembali menjadi perhatian dunia. Begitu pun desakan Amnesty Internasional yang menuntut Pemerintah Cina bertanggung jawab atas penahanan masal etnis Uyghur di kamp-kamp interniran di Provinsi Xinjiang. Sejumlah media internasional melaporkan, sekitar satu juta orang yang diduga berasal dari etnis Uyghur itu ditahan dengan dalih reedukasi.
Tercatat, beberapa tahun belakangan, otoritas Cina mengeluarkan sejumlah peraturan yang mendiskriminasi kebebasan individu Uyghur dalam beragama, seperti melarang masyarakat Muslim Uyghur menjalankan puasa Ramadan atau mengenakan burka. Tingginya represi yang diterima Etnis Uighur di Xinjiang membuat sejumlah muslim Uighur di sana mengungsi ke negara-negara yang berbatasan langsung dengan Xinjiang, seperti Kirgistan dan Turki.
Senior Vice President Aksi Cepat Tanggap Syuhelmaidi Syukur mengungkapkan, pasang surut krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Uyghur telah terjadi puluhan tahun silam. Krisis semakin memuncak dengan adanya pembatasan HAM terhadap masyarakat Uyghur, seperti pelarangan untuk beribadah. ACT saat ini berikhtiar penuh merespons dalam bentuk bantuan kemanusiaan untuk masyarakat Uighur.
Sejak dua tahun lalu, tepatnya Januari 2017, ACT memberikan bantuan pendidikan kepada sejumlah mahasiswa Uighur di Turki. Di tahun yang sama, kurban dari masyarakat Indonesia juga ditunaikan bagi pengungsi Uyghur di Turki.
Dalam waktu dekat, ACT akan memberangkatkan tim untuk memberikan bantuan dan meninjau langsung sejumlah pengungsi Uyghur. “Insya Allah kita akan memberangkatkan tim dalam beberapa fase. Selain di Xinjiang, banyak diaspora Uyghur tersebar di berbagai negara seperti Turki dan Kirgistan. Dalam minggu ini kami akan memberangkatkan Tim Sympathy of Solidarity (SOS) untuk Uyghur I,” jelas Syuhelmaidi, Selasa (18/12).
Sejumlah bantuan akan disampaikan kepada pengungsi Uyghur, khususnya anak-anak yatim Uyghur. Bantuan tersebut akan diberikan dalam bentuk bantuan pendidikan, modal usaha, dan kebutuhan musim dingin. Hal ini disampaikan oleh Direktur Global Humanity Response (GHR) ACT Bambang Triyono.
“Semua program akan segera diinisiasi. Selain itu, negara-negara yang akan kita kunjungi dalam keadaan musim dingin, bantuan yang diberikan juga berupa kebutuhan musim dingin,” terang Bambang.
Selain Turki, ACT akan menyapa pengungsi Uighur di tiga negara yang secara geografis berdekatan dengan wilayah domisili terbesar mereka, Xinjiang. Ketika negara tersebut meliputi Kirgistan, Kazakhstan, dan Uzbekistan. Tim diperkirakan akan berangkat sebelum Januari 2019.
Di samping itu, Bambang menyampaikan, isu kemanusiaan Uighur akan tetap menjadi perhatian Solidaritas Kemanusiaan Dunia Islam (SKDI). “GHR yang diberikan mandat soal ini sekuat tenaga pastilah merespons di mana pun ada isu-isu kemanusiaan yang ada di negara-negara SKDI. Termasuk Uyghur, tidak menutup kemungkinan kita menyapa warga Uyghur di tempat asalnya,” jelas Bambang.
Dari dalam negeri, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau Din Syamsuddin mengecam penindasan Muslim Uyghur di Xinjiang. Sebagaimana dilaporkan kantor berita Antara, Din mengatakan, penindasan yang dilakukan kepada muslim Uyghur di Cina telah melanggar hak asasi manusia.
Etnis Uyghur merupakan suku minoritas muslim yang menjadi penduduk mayoritas di Provinsi Xinjiang, Cina Barat. Dilansir dari berbagai sumber, sensus populasi etnik yang ditulis Departemen Statistik Populasi, Sosial, Sains dan Teknologi, Biro Statistik Nasional Cina tahun 2000 menyebutkan, 45,84 persen penduduk di Xinjiang adalah suku Uyghur. Beberapa bulan terakhir di tahun 2018 ini, sejumlah media internasional memberitakan adanya kamp indoktrinasi untuk warga etnis Uyghur dari Pemerintah Tiongkok.(met/jpg)