JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Prancis mengalami krisis diplomatik yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan Amerika Serikat dan Australia pada Jumat (17/9). Itu terjadi setelah menarik para duta besarnya dari kedua negara itu. Penarikan itu terkait kesepakatan keamanan trilateral yang berujung pada pembatalan kontrak kapal selam rancangan Prancis senilai 40 miliar dolar AS (Rp570 triliun).
Keputusan langka yang diambil oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron dibuat karena betapa serius masalah ini. Seperti disampaikan Menteri Luar Negeri Jean-Yves Le Drian dalam sebuah pernyataan.
Pada Kamis (16/9), Australia mengatakan akan membatalkan kesepakatan senilai 40 miliar dolar AS dengan perusahaan kontraktor pertahanan Prancis, Naval Group, untuk membangun armada kapal selam konvensional. Sebagai gantinya, Australia akan membangun setidaknya delapan kapal selam bertenaga nuklir dengan teknologi buatan AS dan Inggris setelah ketiga negara membuat kemitraan keamanan. Prancis menyebut kesepakatan trilateral itu sebagai tindakan menusuk dari belakang.
Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan Amerika Serikat menyesali keputusan Prancis untuk menarik duta besarnya dan telah berbicara dengan Prancis mengenai penarikan itu. Pejabat tersebut mengatakan Amerika Serikat akan melakukan pembicaraan dengan Prancis beberapa waktu mendatang untuk menyelesaikan perbedaan pandangan.
Sebuah sumber diplomatik di Prancis mengatakan ini adalah pertama kalinya Paris menarik duta besarnya dengan cara seperti ini.
Pernyataan kementerian luar negeri itu tidak menyebutkan Inggris, tetapi sumber diplomatik mengatakan Prancis menganggap Inggris telah bergabung dengan kesepakatan itu secara oportunistik.
"Kami tidak perlu mengadakan konsultasi dengan duta besar (Inggris) kami untuk mengetahui apa yang harus dilakukan atau untuk menarik kesimpulan apa pun," tambah sumber itu.
Le Drian mengatakan kesepakatan itu tidak dapat diterima. "Pengabaian proyek kapal selam dan pengumuman kemitraan baru dengan Amerika Serikat yang bertujuan meluncurkan studi baru untuk kemungkinan kerja sama propulsi nuklir di masa depan adalah perilaku yang tidak dapat diterima di antara sekutu," kata Le Drian.
"Konsekuensinya menyentuh konsep yang kita miliki tentang aliansi, kemitraan kita, dan pentingnya Indo-Pasifik bagi Eropa," imbuh Le Drian.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mencoba menenangkan protes Prancis. Dia menyebut Prancis sebagai mitra penting di Indo-Pasifik. Sebelumnya Perdana Menteri Australia Scott Morrison menolak kritik Prancis bahwa belum diberi peringatan tentang kesepakatan baru itu.
Menurut Morrison, dirinya sudah menyinggung topik itu ketika melakukan pembicaraan dengan Macron bahwa Australia kemungkinan membatalkan kesepakatan proyek kapal selam 2016 dengan sebuah perusahaan Prancis. Morrison mengakui hubungan Australia-Prancis menjadi rusak tetapi bersikeras telah memberi tahu Macron pada Juni bahwa Australia telah merevisi pemikirannya.
"Kami makan malam cukup lama di Paris. Saya memperjelas kekhawatiran kami yang sangat signifikan perihal kemampuan kapal selam konvensional untuk menghadapi lingkungan strategis baru yang kami hadapi," kata Morrison kepada 5aa Radio.
"Saya sudah menjelaskan secara rinci bahwa ini adalah masalah yang perlu diambil Australia untuk kepentingan nasional kami," imbuhnya.
Pengumuman Prancis muncul ketika Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne berbicara di lembaga kajian American Enterprise Institute di Washington. Payne tidak memberi sinyal bahwa dirinya tahu soal penarikan tersebut. Mengacu pada kesepakatan kapal selam, Payne mengatakan keputusan komersial dan strategis seperti itu sulit untuk dikelola.
Akan tetapi, ketika menanggapi sebuah pertanyaan, dia mengatakan tentu saja Prancis tetap menjadi sekutu yang berharga. "Saya benar-benar mengerti kekecewaan itu," katanya.
Tugas saya adalah bekerja sekeras yang saya bisa untuk memastikan bahwa mereka memahami nilai yang kami tempatkan pada peran yang mereka mainkan dan memahami nilai yang kami tempatkan pada hubungan bilateral dan upaya yang ingin kami terus lakukan bersama," ungkapnya.
Ketegangan hubungan di antara sekutu-sekutu lama itu terjadi ketika Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya mencari dukungan lebih luas di Asia dan Pasifik di tengah kekhawatiran soal peningkatan pengaruh Cina yang semakin agresif. Prancis akan mengambil alih kepresidenan Uni Eropa seraya berjanji mengupayakan kesepakatan perdagangan dengan Taiwan serta mengerahkan lebih banyak kapal untuk menjaga rute laut tetap terbuka.
Pierre Morcos, peneliti tamu pada lembaga kajian Center for Strategic and International Studies di Washington, menyebut langkah Prancis itu sebagai hal bersejarah.
"Kata-kata meyakinkan seperti yang terdengar dari Menlu Blinken tidak cukup untuk Paris, terutama setelah pihak berwenang Prancis mengetahui bahwa proses pembuatan perjanjian itu berlangsung selama berbulan-bulan," bebernya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi