Bisnis Keluarga Jadikan Italia Lebih Kuat

Internasional | Selasa, 17 Juli 2012 - 14:33 WIB

Bisnis Keluarga Jadikan Italia Lebih Kuat
(Foto: aplus.net)

Dunia memang cemas saat Yunani terjerat krisis. Namun, dunia lebih waswas saat masalah yang sama menyerimpung Italia. Sama-sama bersumber pada utang yang gagal bayar, tapi utang Yunani hanyalah bukit landai jika dibandingkan dengan gunung utang yang harus ditanggung Italia. Namun, karena punya semangat keluarga, gunung utang itu hanya dilihat seperti bukit landai oleh rakyat Italia.

 

Laporan ABDUL ROKHIM, Roma

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

LALU lintas di depan Roma Termini, stasiun kereta dan bus terbesar di Roma, Kamis (12/7), siang itu sangat ra­m­ai. Selain penumpang rutin, yakni para pekerja, pedagang, dan pelajar, rom­bongan turis juga mendominasi orang yang naik dan turun dari kereta dan bus. 

Ya, Roma memang berbeda dengan Athena. Kemurungan memang ada, ta­pi lebih samar. Warga dan pedagang ma­sih terlihat bersemangat. Baru jika su­dah diajak ngobrol, keluar semua ke­luhan mereka. “Apa yang Anda ha­rap­kan di Roma? Semua harga ma­hal, se­mentara kami harus mene­rima ke­nyataan bahwa sumber pendapatan ber­­kurang. Semoga ini semua cepat ber­­lalu,” ujar Alessandro Sacco, 52, pe­milik Hotel Orlando, saat penulis me­ngeluhkan tarif yang dite­tapkannya.

Pendapatan apa yang berkurang? Se­bagaimana Yunani, Italia harus men­jalankan kebijakan fiskal yang ber­disiplin tinggi (austerity fiscal policy) dengan tujuan memangkas be­lanja pemerintah sebesar-besarnya.

Pada umumnya, negara-ne­gara Eropa menerapkan kebija­kan welfare state sehingga stan­dar hidup mereka lebih tinggi daripada negara-negara besar di benua lain, khususnya Amerika Serikat (AS). Dengan haluan negara seperti itu, pemerintah negara-negara di Eropa harus menyediakan fasilitas yang lebih besar bagi para pensiunan, belanja kesehatan, dan santunan bagi penganggur. Itu semua membebani APBN.

Ketika tumpukan masalah tersebut semakin besar, negara me­ngalami akumulasi utang yang tinggi. Kini, Italia dan Yu­nani harus mengerem “belan­ja sosial” atau memangkas subsidi ke­pada warga negaranya. Ikat ping­gang harus diperketat. So­lusi itu pasti menyakitkan. Itulah yang dikeluhkan Alessandro.

Dengan empat anak, dua laki-laki dan dua perempuan, pria yang dua tahun lalu jadi pensiunan pegawai kantor pos tersebut kini menggantungkan hidupnya dari pengelolaan 20 kamar hotel yang dimilikinya. “Musim panas seperti ini, turis me­mang banyak. Tapi, kami ha­rus mengantisipasi datangnya mu­sim sepi,” ungkap Alessandro yang selalu menyapa dan me­ne­mani ngobrol para tamu­nya saat sarapan.

Agar pemasukan maksimal, Alessandro mengajak dua anak ter­besarnya bergabung. Si su­lung laki-laki bertugas men­jadi doorman (penyambut tamu), sedangkan anak perempuan terbesarnya mengorganisasi masalah dapur, laundry, dan ku­liner. “Selain layanan terjaga, de­n­gan tenaga kerja dari keluar­ga, urusan operasional juga lebih efisien,” tambahnya.

Bisnis keluarga itu memang men­jadi benteng perekonomian ter­kuat Italia saat digempur kri­sis. Italia kini harus menang­gung utang yang setara dengan pro­duk domestik bruto (PDB)-nya, sekitar USD 2 triliun. Dengan utang Yunani yang “hanya” se­kitar USD 330 miliar, skala kri­sis utang Italia jauh lebih be­sar. Dengan tingkat kega­watan yang le­bih tinggi itu, seharusnya ting­kat stres warga Italia bisa lebih parah.

Namun, menyusuri pusat turis di Colloseum, pusat penjua­lan barang mewah Via del Ba­buino dan Via Condotti, hing­ga daerah-daerah pinggir seperti Velle Santa dan Casalotti, dalam pan­dangan mata, semua ber­ja­lan normal. Bahkan, beberapa ka­wasan seperti Babuino dan Con­dotti malah bergairah dengan diadakannya program sale besar-besaran.

“Semua itu karena orang Italia selalu punya harapan ter­sisa, yakni keluarga. Jika pu­nya utang tak terbayar atau ada kon­flik dengan rekan bisnis, ke­luar­ga lebih cepat me­nyele­saikan daripada penga­dilan,” ujar pe­ngu­saha Angela Salina, pe­milik be­berapa butik brand inter­nasional di Condotti.

Bisnis keluarga juga menyi­sakan harapan bagi Italia. Sebab, de­ngan pola kepemilikan ber­sama, tingkat tabungan mas­ya­rakat (domestic saving rate) di Italia tinggi. Selain itu, Italia memiliki kawasan industri di wilayah utara yang termasuk sa­lah satu daerah terkaya di Ero­pa. “Kami selalu yakin bahwa Ita­lia akan segera bangkit. Se­bab, mereka selalu ada yang mendukung. Katakanlah punya utang 1 juta euro, dia akan bisa pu­­lang ke keluarga besarnya yang memiliki sebidang tanah di b­e­lakang rumah yang jika dija­dikan uang nilainya jauh di atas 1 juta euro,” ungkap Angelina.

Angelina yang dibesarkan oleh bisnis keluarga di Florence itu mengungkapkan, keluarga adalah urat nadi bagi bisnis di Italia. Bagi keluarga di Italia yang memiliki bisnis, ada pembagian peran yang jelas. “Yakni, ayah sebagai pelaksana (pelaksana, sales, pengatur stok, dan juru bicara), ibu sebagai akuntan, dan anak tertua seperti saya harus mengambil kursus bisnis di University of Florence untuk mem­bawa modernisasi ke perusa­haan,” jelas anak tertua keluarga pe­ngusaha pabrik tekstil itu.

Dengan formasi demikian, Kota Florence dikenal sebagai tem­pat asal perusahaan kelas du­nia yang berbasis bisnis ke­luar­ga. Misalnya, di bisnis ang­gur ada nama Frescobaldi dan Antinori yang berproduksi sejak 1308. Selain itu, ada produsen brand fashion terkemuka Ferra­gamo Group, pematung Roma­nelli, dan Roberto Cavalli, pe­milik jaringan apotek ter­kemuka Menarini.

Manajemen apa yang dite­rap­kan sehingga bisnis keluar­ga di Italia tetap bertahan? Roberto Davide yang dipercaya keluarga memimpin jaringan pizzataria (restoran pizza) Buena Vista mengungkapkan, inti dari bisnis keluarga adalah kepercayaan yang menciptakan efisiensi.

“Karena kami percaya, kami bisa fleksibel. Saat omzet sepi seperti saat krisis sekarang, kami bisa memotong gaji karyawan yang anggota keluarga dengan mu­dah,” ungkapnya saat ber­kun­jung ke gerai terbesarnya di kompleks Via Principe Amedeo Roma.

Penambahan jam kerja saat hari libur juga bisa ditetapkan se­c­epatnya. Para pegawai keba­nyakan berumur 18–20 tahun dan semuanya adalah kepo­na­kan Roberto. Karena itu, hampir tidak ada yang membantah.

Kini dengan gerai yang berja­lan baik di Roma, Roberto ber­ambisi membuka gerai ke­dua di tempat lain.

“Jika bisa di kota lain, seperti Milan. Kota dengan banyak turis sa­ngat potensial untuk bisnis ka­mi,” ujarnya. Dia meng­harapkan perekonomian Italia segera membaik. Sebab, hanya itulah satu-satunya cara bagi keluarga Ro­berto untuk mewujudkan am­bisi. “Seperti keluarga saya, saya harap Italia juga satu ke­luarga. Satu sama lain saling mendukung, terutama dalam masa-masa yang sulit ini,” ucap dia. (***)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook