Dunia memang cemas saat Yunani terjerat krisis. Namun, dunia lebih waswas saat masalah yang sama menyerimpung Italia. Sama-sama bersumber pada utang yang gagal bayar, tapi utang Yunani hanyalah bukit landai jika dibandingkan dengan gunung utang yang harus ditanggung Italia. Namun, karena punya semangat keluarga, gunung utang itu hanya dilihat seperti bukit landai oleh rakyat Italia.
Laporan ABDUL ROKHIM, Roma
LALU lintas di depan Roma Termini, stasiun kereta dan bus terbesar di Roma, Kamis (12/7), siang itu sangat ramai. Selain penumpang rutin, yakni para pekerja, pedagang, dan pelajar, rombongan turis juga mendominasi orang yang naik dan turun dari kereta dan bus.
Ya, Roma memang berbeda dengan Athena. Kemurungan memang ada, tapi lebih samar. Warga dan pedagang masih terlihat bersemangat. Baru jika sudah diajak ngobrol, keluar semua keluhan mereka. “Apa yang Anda harapkan di Roma? Semua harga mahal, sementara kami harus menerima kenyataan bahwa sumber pendapatan berkurang. Semoga ini semua cepat berlalu,” ujar Alessandro Sacco, 52, pemilik Hotel Orlando, saat penulis mengeluhkan tarif yang ditetapkannya.
Pendapatan apa yang berkurang? Sebagaimana Yunani, Italia harus menjalankan kebijakan fiskal yang berdisiplin tinggi (austerity fiscal policy) dengan tujuan memangkas belanja pemerintah sebesar-besarnya.
Pada umumnya, negara-negara Eropa menerapkan kebijakan welfare state sehingga standar hidup mereka lebih tinggi daripada negara-negara besar di benua lain, khususnya Amerika Serikat (AS). Dengan haluan negara seperti itu, pemerintah negara-negara di Eropa harus menyediakan fasilitas yang lebih besar bagi para pensiunan, belanja kesehatan, dan santunan bagi penganggur. Itu semua membebani APBN.
Ketika tumpukan masalah tersebut semakin besar, negara mengalami akumulasi utang yang tinggi. Kini, Italia dan Yunani harus mengerem “belanja sosial” atau memangkas subsidi kepada warga negaranya. Ikat pinggang harus diperketat. Solusi itu pasti menyakitkan. Itulah yang dikeluhkan Alessandro.
Dengan empat anak, dua laki-laki dan dua perempuan, pria yang dua tahun lalu jadi pensiunan pegawai kantor pos tersebut kini menggantungkan hidupnya dari pengelolaan 20 kamar hotel yang dimilikinya. “Musim panas seperti ini, turis memang banyak. Tapi, kami harus mengantisipasi datangnya musim sepi,” ungkap Alessandro yang selalu menyapa dan menemani ngobrol para tamunya saat sarapan.
Agar pemasukan maksimal, Alessandro mengajak dua anak terbesarnya bergabung. Si sulung laki-laki bertugas menjadi doorman (penyambut tamu), sedangkan anak perempuan terbesarnya mengorganisasi masalah dapur, laundry, dan kuliner. “Selain layanan terjaga, dengan tenaga kerja dari keluarga, urusan operasional juga lebih efisien,” tambahnya.
Bisnis keluarga itu memang menjadi benteng perekonomian terkuat Italia saat digempur krisis. Italia kini harus menanggung utang yang setara dengan produk domestik bruto (PDB)-nya, sekitar USD 2 triliun. Dengan utang Yunani yang “hanya” sekitar USD 330 miliar, skala krisis utang Italia jauh lebih besar. Dengan tingkat kegawatan yang lebih tinggi itu, seharusnya tingkat stres warga Italia bisa lebih parah.
Namun, menyusuri pusat turis di Colloseum, pusat penjualan barang mewah Via del Babuino dan Via Condotti, hingga daerah-daerah pinggir seperti Velle Santa dan Casalotti, dalam pandangan mata, semua berjalan normal. Bahkan, beberapa kawasan seperti Babuino dan Condotti malah bergairah dengan diadakannya program sale besar-besaran.
“Semua itu karena orang Italia selalu punya harapan tersisa, yakni keluarga. Jika punya utang tak terbayar atau ada konflik dengan rekan bisnis, keluarga lebih cepat menyelesaikan daripada pengadilan,” ujar pengusaha Angela Salina, pemilik beberapa butik brand internasional di Condotti.
Bisnis keluarga juga menyisakan harapan bagi Italia. Sebab, dengan pola kepemilikan bersama, tingkat tabungan masyarakat (domestic saving rate) di Italia tinggi. Selain itu, Italia memiliki kawasan industri di wilayah utara yang termasuk salah satu daerah terkaya di Eropa. “Kami selalu yakin bahwa Italia akan segera bangkit. Sebab, mereka selalu ada yang mendukung. Katakanlah punya utang 1 juta euro, dia akan bisa pulang ke keluarga besarnya yang memiliki sebidang tanah di belakang rumah yang jika dijadikan uang nilainya jauh di atas 1 juta euro,” ungkap Angelina.
Angelina yang dibesarkan oleh bisnis keluarga di Florence itu mengungkapkan, keluarga adalah urat nadi bagi bisnis di Italia. Bagi keluarga di Italia yang memiliki bisnis, ada pembagian peran yang jelas. “Yakni, ayah sebagai pelaksana (pelaksana, sales, pengatur stok, dan juru bicara), ibu sebagai akuntan, dan anak tertua seperti saya harus mengambil kursus bisnis di University of Florence untuk membawa modernisasi ke perusahaan,” jelas anak tertua keluarga pengusaha pabrik tekstil itu.
Dengan formasi demikian, Kota Florence dikenal sebagai tempat asal perusahaan kelas dunia yang berbasis bisnis keluarga. Misalnya, di bisnis anggur ada nama Frescobaldi dan Antinori yang berproduksi sejak 1308. Selain itu, ada produsen brand fashion terkemuka Ferragamo Group, pematung Romanelli, dan Roberto Cavalli, pemilik jaringan apotek terkemuka Menarini.
Manajemen apa yang diterapkan sehingga bisnis keluarga di Italia tetap bertahan? Roberto Davide yang dipercaya keluarga memimpin jaringan pizzataria (restoran pizza) Buena Vista mengungkapkan, inti dari bisnis keluarga adalah kepercayaan yang menciptakan efisiensi.
“Karena kami percaya, kami bisa fleksibel. Saat omzet sepi seperti saat krisis sekarang, kami bisa memotong gaji karyawan yang anggota keluarga dengan mudah,” ungkapnya saat berkunjung ke gerai terbesarnya di kompleks Via Principe Amedeo Roma.
Penambahan jam kerja saat hari libur juga bisa ditetapkan secepatnya. Para pegawai kebanyakan berumur 18–20 tahun dan semuanya adalah keponakan Roberto. Karena itu, hampir tidak ada yang membantah.
Kini dengan gerai yang berjalan baik di Roma, Roberto berambisi membuka gerai kedua di tempat lain.
“Jika bisa di kota lain, seperti Milan. Kota dengan banyak turis sangat potensial untuk bisnis kami,” ujarnya. Dia mengharapkan perekonomian Italia segera membaik. Sebab, hanya itulah satu-satunya cara bagi keluarga Roberto untuk mewujudkan ambisi. “Seperti keluarga saya, saya harap Italia juga satu keluarga. Satu sama lain saling mendukung, terutama dalam masa-masa yang sulit ini,” ucap dia. (***)