PARIS (RIAUPOS.CO) - Upaya mengungkap identitas para pelaku teror Paris pada Jumat (13/11) terus dilakukan. Pelaku yang identitasnya telah resmi terungkap adalah Omar Ismail Mostefai, warga kelahiran Prancis keturunan Aljazair.
Pria 29 tahun itu merupakan seorang di antara pelaku yang meledakkan diri di gedung teater Bataclan. Identitas Mostefai diketahui dari potongan jari di lokasi kejadian. Seorang lainnya yang diketahui dari paspor yang ditemukan di lokasi kejadian adalah Ahmad al-Mohammad (25).
Mostefai yang kelahiran Courcourronnes, 21 November 1985, tercatat delapan kali melakukan kejahatan kecil pada 2004-2010. Namun ia tidak pernah masuk penjara.
Teror di Prancis ini menewaskan total 129 orang hingga malam tadi WIB. Sementara 352 orang lainnya mengalami luka-luka.
Gesekan Terjadi Pasca-Teror
Di bagian lain, efek yang muncul akibat insiden serangan teroris di Paris sangat beragam. Salah satunya, gesekan-gesekan antara pemerintah sebagai reaksi peristiwa tersebut. Presiden Suriah Bashar Al Assad pun diberitakan mengeluarkan pernyataan offensive kepada pemerintah Prancis.
Dalam lansiran Agence France-Presse (AFP), Assad meminta agar pemerintah Perancis mengubah kebijakannya terkait penanggulangan teroris harus diubah. Ia menuduh bahwa kebijakan saat ini yang tidak mendukung pemerintah petahana Suriah justru mendorong perluasan aksi terorisme di dunia. Seperti yang diketahui, Prancis muncul sebagai pendukung oposisi Assad saat protes terjadi pada 2011.
“Pertanyaannya, apakah kebijakan Prancis selama lima tahun belakangan ini tepat. Jawabannya tidak,” ujarnya seperi dikutip oleh AFP.
Selama ini, lanjut dia, Pemerintah Suriah pun sudah mencoba mengingatkan bahwa isu ISIS bisa berdampak ke Eropa. Namun, ia menilai negara-negara di Eropa menganggap isu tersebut telalu ringan.
“Dalam tiga tahun ini kami sudah memperingatkan bahwa insiden seperti ini bisa terjadi. Tapi petinggi Eropa tidak mendengarkan,” jelasnya.
Pernyataan tersebut memang cenderung menyalahkan Pemerintah Prancis. Hal tersebut disayangkan oleh pengamat hubungan luar negeri Teuku Rezasyah. Menurutnya, pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden Suriah itu kurang etis bagi negara yang baru saja mengalami musibah. “Saat ini memang masih belum terkonfirmasi apakah memang Assad menyatakan itu atau hanya misinterpretasi oleh media. Tapi, jika benar hal tersebut dikatakan Assad, saya sangat menyayangkan,” ujarnya.
Dia menjelaskan, hal ini bisa saja malah memperburuk hubungan antara kawasan Eropa dan Timur Tengah. Hubungan tersebut bisa saja berujung kepada tindakan-tindakan konflik yang lebih besar jika tak dinetralkan secepatnya. Teuku mencontohkan saat Pemerintah Amerika Serikat menyerang Afganistan dan Irak sebagai tanggapan insiden 9/11. “Saat seperti ini, harusnya Pemerintah Suriah ikut berbela sungkawa. Jangan sampai terjadi kasus pasca kejadian WTC. Saat itu, Pemerintah AS langsung menyerang tanpa perhitungan yang matang,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti pernyataan Presiden Prancis Francois Hollande yang langsung menyatakan bahwa ISIS adalah pihak yang bertanggung jawab dalam aksi Jumat (13/11) malam lalu. Harusnya, kesimpulan itu bisa diambil setelah proses forensik dan penyelidikan yang menyeluruh. “Memang, posisi Hollande dalam krisis sehingga dia langsung mengambil kesimpulan berdasarkan klaim dan ancaman-ancaman sebelumnya. Tapi, pembuktian forensik tetap harus dilakukan,” terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Pelaksana Fungsi Konsuler KBRI Paris Yosep Tutu mengakui, saat ini laporan atau permintaan bantuan terkait WNI yang tidak bisa dikontak di Paris sudah jauh berkurang.(bil/jpg)