SEOUL (RIAUPOS.CO) – Banyak negara menerapkan baby bonuses. Yakni, pemberian insentif bagi keluarga yang mau melahirkan bayi. Kebijakan itu berlaku di negara-negara dengan angka kelahiran rendah. Baik di Eropa maupun Asia. Namun, dari sejumlah negara, Korea Selatan (Korsel) disebut-sebut paling royal bonusnya.
Sejak 2022, para ibu menerima uang tunai KRW 2 juta (Rp22,4 juta) setelah melahirkan anak. Bonus itu lebih banyak daripada program serupa di Prancis yang terkenal sosialis. Selain itu, pihak keluarga menerima KRW 700 ribu (Rp7,8 juta) per bulan untuk kebutuhan bayi hingga usia 1 tahun.
Selanjutnya, di tahun kedua, keluarga bersangkutan masih menerima KRW 350 ribu (Rp3,9 juta). Pada 2024, bonus akan dinaikkan menjadi KRW 1 juta (Rp11,2 juta) untuk bayi 0–1 tahun dan KRW 500 ribu (Rp5,6 juta) untuk tahun kedua. Anak usia 3 tahun hingga usia SD mendapat tunjangan KRW 200 ribu atau Rp2,2 juta.
Jika anak itu berada di rumah tangga berpenghasilan rendah atau dirawat orang tua tunggal, ada tambahan insentif lagi. Pemerintah juga menawarkan biaya perawatan untuk ibu hamil, pengobatan kemandulan, layanan pengasuhan anak, bahkan biaya kencan agar seseorang segera menikah.
Insentif tersebut berasal dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah juga memiliki program masing-masing. Jumlahnya pun tidak kalah besar. Di sebuah distrik di Busan, ada bonus terpisah bagi yang melahirkan tiga kali atau lebih. Yakni, mencapai KRW 10 juta atau Rp112,2 juta. Awalnya bonus hanya KRW 500 ribu, tapi kemudian ditambah demi mendorong pasangan melahirkan banyak anak.
Di pedesaan barat daya Provinsi Jeolla Selatan, ada tunjangan bulanan sebesar KRW 600 ribu (Rp6,7 juta) per anak. Tunjangan itu diberikan selama tujuh tahun. Jika ditotal, per anak mendapat KRW 50,4 juta (Rp565,6 juta).
Kebijakan tersebut dibuat karena Korsel memiliki tingkat kelahiran terendah di dunia. Pada 2022, rata-rata jumlah bayi yang diharapkan per perempuan Korsel turun menjadi 0,78. Angka itu lebih rendah daripada rekor sebelumnya, yakni 0,81. Padahal, jumlah kelahiran yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas populasi biasanya sekitar 2,1.
Sayang, meski insentif besar-besaran telah diberikan pemerintah, sejauh ini tidak banyak membantu. Masih banyak pasangan yang memilih untuk tidak mempunyai momongan. Salah satunya Cho Joo-yeon (39), seorang penerjemah bahasa Korea. Dia telah menikah selama 10 tahun. Memiliki anak tidak menjadi pilihan baginya. Dukungan pemerintah sebesar apa pun tidak akan mengubah pikirannya.
Menurut Cho, memiliki anak adalah tanggung jawab yang sangat besar. Dia tak ingin hamil dan mengorbankan kariernya demi memiliki anak. Padahal, suami Cho, Nam Hyun-woo, adalah direktur kreatif di industri periklanan.
’’Kami menyukai kelonggaran finansial yang kami miliki. Kami tak perlu khawatir menyekolahkan anak ke sekolah mahal atau memikirkan tabungan tambahan,’’ ujar Cho, seperti dikutip Al Jazeera.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman