OKI Bangun 8.000 Rumah Pengungsi Rohingya

Internasional | Senin, 13 Agustus 2012 - 06:52 WIB

JAKARTA (RP) - Organisasi Kerja sama Negara-negara Islam (OKI) dan Pemerintah Myanmar akan membangun delapan ribu rumah bagi pengungsi korban konflik komunal di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Para pengungsi yang berasal dari etnis Rohingya dan Rakhine akan direlokasi dan direhabilitasi ke pemukiman baru yang lahannya telah disiapkan.

“OKI dan Myanmar sepakat merelokasi korban konflik ini ke tempat yang lebih baik. Delapan ribu rumah akan dibangun bagi pengungsi Rohingya dan Rakhine,” ujar Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla di Jakarta, malam tadi.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

JK mengunjungi Myanmar bersama Asisten Sekjen Organisasi Konferensi Islam (OKI) Atta El-Manan Bakhit dan Presiden Bulan Sabit Merah Qatar (QRCS) Mohamed Ghanim Al-Mahdeed.

Kunjungan ini menindaklajuti pertemuan lembaga sosial nonpemerintah 20 negara muslim anggota OKI di Kuala Lumpur, 3 Agustus lalu. Dalam pertemuan tersebut, OKI menugaskan PMI mencari jalan keluar penyelesaian konflik komunal di Rakhine dan membuka akses bantuan kemanusiaan internasional.

Awalnya, sempat muncul kekhawatiran pemerintah Myanmar akan bersikap tertutup terhadap kunjungan misi kemanusiaan PMI, OKI dan  Bulan Sabit Merah Qatar. Namun berkat pendekatan JK, Presiden Myanmar Thein Sein memberikan akses kepada delegasi kemanusiaan ini untuk melihat langsung kondisi terkini pasca konflik di negara Bagian Rakhine.

“Pemerintah Myanmar bersikap terbuka dan menyambut kami dengan baik. Selain itu, pemerintah Myanmar turut pula memenuhi semua usulan dari kami untuk membantu pengungsi Rohingya,” tutur JK.

Pada kunjungan delegasi PMI, OKI dan Bulan Sabit Merah Qatar di Provinsi Rakhine, terungkap ribuan masyarakat Rohingya dan Rakhine hidup dalam kondisi mengenaskan pasca konflik horizontal tersebut. Mereka tinggal berdesakan di barak pengungsi dengan fasilitas sanitasi dan kesehatan yang sangat buruk.

Curah hujan yang sangat tinggi di kawasan pengungsian membuat para pengungsi mudah terkena penyakit, terutama diare, saluran pernafasan atas, dan kolera. Sejumlah pengungsi bahkan mengeluh kurangnya pasokan makanan dan obat-obatan yang diberikan kepada mereka.

JK berharap pemerintah Myanmar segera memulai proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Berdasarkan pengalamannya menyelesaikan konflik di Ambon dan Poso, program tanggap darurat tidak boleh lebih dari enam bulan.  "Sebab akan menimbulkan persoalan psikologis dan kesehatan," ujarnya.

Selain menyelesaikan masalah pengungsi, pemerintah Myanmar juga didorong meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kedua belah pihak. "Sehingga ke depan tidak perlu ada konflik semacam ini," ujarnya.

Menteri Urusan Perbatasan Myanmar Letjen Thein Htay dalam rilis yang dikirimkan Humas Palang Merah Indonesia mengakui, pihaknya cukup kewalahan menghadapi dampak pascakerusuhan sosial. Kemampuan finansial pemerintah Myanmar dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi pascakonflik sangat terbatas.  "Karena itu kita sangat terbuka bantuan lembaga internasional untuk menyelesaikan masalah ini," ujarnya.

Thein Htay menegaskan, pemerintah Myanmar juga terus berusaha mendamaikan pihak-pihak yang sedang berkonflik di kawasan itu. Secara rutin, pemerintah mengajak tokoh agama kedua belah pihak untuk mendinginkan suasana. "Supaya konflik yang berawal dari tindakan kriminal ini tidak melebar ke persoalan agama," tegasnya.

 

Kekerasan di Rakhine Mulai Mereda  

Sementara itu, Husain Abdullah dari Myanmar melaporkan, kerja kemanusiaan yang digagas JK  dalam upaya mendamaikan konflik di Myanmar mulai membuahkan.

Kondisi di Rakhine hingga kemarin tidak ada kekerasan lagi antaretnis yang bertikai. Situasinya sudah cooling down. Pengungsi Rakhine  yang tadinya berjumlah 25 ribu orang kini menurun jadi 2500 orang.

Sedangkan pengungsi Rohingya (muslim), masih berkisar 60-an ribu jiwa. Kemungkinan pengungsi Rakhine memilih berani kembali ke pemukiman mereka karena mareka adalah suku mayoritas di kawasan itu. Saya memastikan pengungsi dari Rakhine akan terus menyusut.

Sedangkan etnis Rohingya atau muslim Benggali, masih akan bertahan di kamp kamp pengungsian. JIka kondisi psikologis terutama rasa takut dari etnis minoritas ini mulai berkurang, kemungkinan mereka juga akan meninggalkan kamp pengungsian untuk kembali ke pemukiman sebelumnya.

Bagi mereka yang rumahnya terbakar, tentu membutuhkan pemukiman semi permanen yang lebih layak. Melihat kecenderungan dan sikap pemerintah Myanmar setelah munculnya reaksi internasional, dan tentu juga hasil pembicaraan antara Presiden Myanmar U Thein Sein dengan delegasi yang dipimpin M Jusuf Kalla bersama wakil Sekjen OKI, Dr Atta, pihak Myanmar makin terbuka dan bisa memberi rasa aman bagi semua warga.

Kemarin, The Miror, koran berbahasa Myanmar yang terbit di Yangon, mulai memberitakan pentingnya persamaan antara semua agama di Myanmar. Kunci dari pemulihan kondisi di Rakhine, adalah adanya jaminan keamanan terutama bagi etnis minoritas.

Selama jaminan itu belum ada, sulit bagi mereka kembali ke pemukiman semula, dalam waktu dekat. Salah satu persoalan yang cukup serius di sini karena etnis minoritas (muslim Rohingya) merasa kurang mendapat perhatian, bahkan cenderung merasakan adanya pembiaran atas apa yang mereka alami. (jpnn/sil)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook