ANKARA (RP) - Wakil Presiden (Wapres) Irak Tariq al-Hashimi memenuhi janjinya untuk bersuara terkait vonis mati yang dijatuhkan pengadilan di Baghdad pada Ahad (9/9). Pria yang berstatus buron karena kabur dari negerinya sejak didakwa mendalangi aksi terorisme di Irak pada Desember tahun lalu itu memberikan keterangan pers di Kota Ankara, Turki, Senin (10/9).
Mantan Sekjen Partai Islam Iraq (IIP) menolak hukuman mati dengan cara digantung yang dijatuhkan atas dirinya. Pria 70 tahun itu membantah dakwaan melakukan teror dan pembunuhan. Tokoh dari kelompok Sunni tersebut juga menolak untuk kembali ke Iraq sebelum mendapat jaminan keamanan serta pengadilan yang adil dan fair.
‘’Dengan menegaskan kembali (pernyataan sebelumnya) bahwa saya dan para bodyguard sama sekali tidak bersalah, saya tak akan pernah mengakui vonis yang sarat bermuatan politik, tak adil, dan curang ini. Hasilnya (vonis pengadilan, red) sudah bisa diprediksi sejak awal (persidangan),’’ ujar Hashimi. Saat itu, dia bicara dengan menggunakan bahasa campuran Arab dan Inggris.
Hashimi menuding vonis atas dirinya merupakan babak terakhir dari drama politik yang sengaja dirancang rivalnya, Perdana Menteri (PM) Nuri al-Maliki, maupun pengadilan politik yang dijalankannya. ‘’Vonis mati itu adalah harga yang harus saya bayar karena kecintaan saya kepada negeri saya dan loyalitas saya kepada rakyat. Saya tegaskan kembali bahwa saya tak bersalah dan siap diadili dalam sebuah sistem hukum yang adil, tak korup, dan tak di bawah pengaruh Maliki,’’ tambahnya.
Komentar Hashimi itu merupakan respons atas vonis pengadilan Baghdad kepada dirinya sehari sebelumnya. Dia dijatuhi hukuman gantung dalam sidang in absentia (tak dihadiri terdakwa) terkait kasus pembunuhan atas seorang pengacara dan jenderal bintang satu. Selain itu, pengadilan memerintahkan Hashimi kembali ke Irak dalam waktu 30 hari. Menantu Hashimi, Ahmad Qahtan, dan sekretarisnya juga divonis mati dalam sidang in absentia itu.
Hashimi menegaskan bahwanya dirinya siap pulang ke Baghdad hanya jika pemerintah menjamin keamanan atas dirinya dan menjalankan pengadilan yang jujur. ‘’Jika (persidangan) itu dijamin dan jika PBB meyakinkan saya bahwa pengadilan Baghdad akan bertindak adil, saya siap menghadirinya,’’ tegasnya.
Hashimi lari ke Turki setelah pemerintah Irak yang didominasi kelompok Syiah mengeluarkan surat perintah penyelidikan atas kasus terorisme atas dirinya Desember tahun lalu. Pejabat tertinggi dari Muslim Sunni Irak itu dijanjikan akan diadili ulang jika setuju untuk pulang ke Baghdad. Namun, pria kelahiran 1942 tersebut menolak karena tak yakin akan diadili secara jujur di Baghdad.
Hashimi menjabat wapres bersama Adil Abdul Mahdi dalam pemerintahan baru Irak yang terbentuk pasca-pemilu Desember 2005. Dia menduduki jabatannya selama lima tahun sejak April 2006. Di bulan sama adik laki-laki dan perempuannya ditembak mati dalam dua serangan berbeda.
Hashimi terpilih lagi sebagai wapres bersama Khodair al-Khozaei pada 2011-2012. Saat pertama kali menjadi wapres, dia adalah sekjen IIP, yang diduga punya hubungan dengan sejumlah elemen pemberontak Sunni.
Setelah kabur ke beberapa negara lain hingga menetap di Turki, Hashimi masuk dalam daftar buron Interpol. Namun, Turki enggan mendeportasi ke Baghdad. Hal itu membuat hubungan dua negara merenggeng. Dia tetap menunjukkan sikap perlawanannya terhadap Baghdad dalam jumpa pers kemarin. ‘’Saya tidak khawatir dengan hidup saya. Saya lebih khawatir masa depan negara saya,’’ serunya.(afp/cak/dwi)