JAKARTA (RP) - Ironi nasib TKI di luar negeri terus bermunculan. Kasus terbaru terjadi di kompleks KJRI Jeddah.
Sekitar 50 ribu TKI dan WNI umum berdesakan hingga ricuh saat mengurus Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) Ahad (9/6) malam waktu setempat.
Akibat kericuhan ini, seorang TKI meninggal dunia dan beberapa staf KJRI Jeddah mengalami luka serius.
Korban tewas dalam insiden ini adalah Marwah Binti Hasan (58) asal Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Kematian Marwah ini sampai sekarang masih simpang siur.
Mulai dari kabar ia tewas terinjak-injak, hingga meninggal karena sebelumnya sudah sakit akut. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat mengatakan, Marwah memang sebelumnya sakit.
‘’Jadi tidak benar jika ia meninggal karena terinjak-injak,’’ kata Jumhur di komplek DPR, Senin (10/6). Jumhur mengatakan pihaknya sangat prihatin atas insiden ini.
Jumhur menceritakan, bahwa ia terus mengumpulkan informasi langsung dari Arab Saudi. Di antaranya melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Jumhur mengatakan bahwa awalnya antrean pengurusan SPLP di KJRI Jeddah berjalan lancar dan tertib. Meskipun jumlah pemohon SPLP berlipat-lipat dari kondisi normal.
Menurut Jumhur, dalam kondisi normal pemohon SPLP paling banyak 500 orang. ‘’Bandingkan dengan kondisi Ahad malam itu, pemohonnya hingga 50 ribu orang,’’ katanya.
Kabar sementara, jumlah pemohon SPLP ini membeludak karena ada kabar bohong yang dihembuskan di kalangan TKI. Kabar bohong itu menyebutkan bahwa kemarin adalah batas akhir pengajuan SPLP karena ada masa pemutihan dokumen atau amnesti dari Pemerintah Arab Saudi.
Tak ayal kabar tersebut membuat TKI dari seantero Arab Saudi menyemut di KJRI Jeddah. Sejatinya pengurusan SPLP juga di buka di KBRI Riyadh.
Tetapi, di tempat ini pada Ahad lalu hanya ada sekitar 500 pemohon SPLP. Para TKI memilih KJRI Jeddah karena skema pengurusannya lebih mudah ketimbang di KBRI Riyadh.
Kalau di KBRI Riyadh dibatasi tembok yang sangat kokoh, sehingga sulit bagi TKI untuk antre dalam jumlah yang banyak.
Setelah terjadi konsentrasi TKI di KJRI Jeddah, Jumhur mengatakan ada pihak-pihak nakal yang menyulut kericuhan. Kebetulan saat itu meskipun malam hari, cuaca lumayan panas. ‘’Pada siang hari saja bisa mencapai 50 derajat celcius,’’ katanya.
Jumhur mengatakan jika pihak-pihak yang memprovokasi itu adalah WNI sendiri. Tepatnya WNI yang selama ini menjadi penampung TKI-TKI ilegal untuk dipekerjakan kembali tanpa izin.
Nah dengan praktik ini, WNI yang menjadi penampung TKI ilegal tadi mendapatkan uang. Baik dari TKI yang mereka salurkan secara ilegal, maupun dari majikan yang memerlukan TKI tanpa prosedur legal.
‘’Orang-orang yang menampung TKI ilegal itu orang kita sendiri. Mereka sudah lama menetap di Arab Saudi,’’ papar Jumhur. Ia mengatakan, orang-orang ini sangat tidak senang ketika Pemerintah Arab Saudi membuka masa pemutihan dokumen. Karena mengancam penghasilan mereka.
Selain menuding ulah para WNI nakal tadi, Jumhur juga mengkrtisi sistem informasi di Pemerintahan Arab Saudi. Ia mengatakan jika kabar adanya masa pemutihan bagi TKI atau WNI ilegal itu muncul sekitar 11 Mei lalu.
Kemudian dibukanya loket amnesti atau pemutihan dokumen itu pekan ketiga Mei. Kondisi itu diperparah dengan deadline yang ditetapkan hingga 3 Juli nanti.
Kabar terbaru setelah ada desakan dari banyak negara, Arab Saudi memperpanjang deadline amnesti ini hingga 4 Oktober nanti.
‘’Bisa dibayangkan di Arab Saudi itu ada kurang lebih 120 ribu WNI atau TKI yang perlu pemutihan dokumen,’’ papar Jumhur.
Dengan waktu yang mepet itu, Jumhur mengatakan, setiap hari rata-rata da 5.000 pemohon khusus di KJRI Jeddah. Data terbaru pemohon SPLP sudah mencapai 47 ribuan orang.
Tetapi dokumen SPLP yang sudah diterbitkan masih sekitar 12 ribu lembar. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar langsung menuai banyak kecaman dari Komisi IX DPR kemarin.
Komisi yang membidangi urusan ketenagakerjaan itu menilai Pemerintah Indonesia kebobolan karena tidak bisa memprediksi jumlah pemohon SPLP.
Komisi IX DPR juga mengusulkan ke depan pengurusan SPLP tidak terkosentrasi hanya di KJRI Jeddah dan KBRI Riyadh saja.
Muhaimin mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM serta Kemenlu terkait insiden ini.
Ia mengatakan, saat ini pemerintah sudah mengambil gerak cepat dengan menambah personel yang melayani pengurusan SPLP. Penambahan staf ini murni dari Arab Saudi, bukan staf baru yang diterbangkan dari Jakarta.
‘’Usulan menggunakan tenaga mahasiswa Indonesia itu layak dikaji,’’ katanya. Selain itu penjagaan dari kepolisian setempat di KJRI Jeddah juga diperketat. Muhaimin mengatakan ada banyak jenis TKI ilegal yang mengurus SPLP.
Terkait kasus meninggalnya seorang WNI dalam insiden ini, Muhaimin mengatakan akibat sakit. ‘’Sudah diselidiki oleh otoritas setempat,’’ katanya.
Muhaimin menepis jika insiden ini berujung pembakaran kantor KJRI Jeddah oleh para TKI. Kasus yang sebenarnya terjadi adalah para TKI yang kesal membakar plastik-plastik pembatas jalan sehingga menimbulkan asap hitam pekat.
Di bagian lain, Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah menuturkan pemerintah menyesalkan tindakan anarkis yang dilakukan para TKI di KJRI Jeddah.
‘’Kebijakan pemutihan yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi itulah yang memungkinkan bagi mereka untuk kembali ke negara masing-masing dan mendapatkan pekerjaan legal di Arab Saudi. Apabila ada tindakan-tindakan yang melanggar hukum tentunya kredibilitas para TKI sangat dirugikan. Karena baik majikan maupun potensial majikan akan berpikir lagi untuk merekrut mereka di sana,’’ jelas Faizasyah di Kompleks Istana Kepresidenan, kemarin.
Hasil informasi yang dia kumpulkan, ternyata tenaga staf di KJRI Jeddah didominasi petugas masih muda dan kurang pengalaman.
Staf ini tidak hanya berhadapan dengan WNI atau TKI pemohon dokumen. Tetapi juga para calo yang menawarkan jasa pengurusan dengan imbalan hingga 400 riyal (sekitar Rp1 juta) per dokumen.(wan/ken/jpnn)