JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Kelompok militan Palestina, Hamas, kini tengah menghadapi gempuran pasukan militer Israel yang berhasil menembus jantung kota di Gaza.
Sudah masuk bulan kedua sejak serangan Israel sebagai tanggapan atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, pasukan Zionis masih terus memburu milisi Palestina itu, terutama Pemimpin Hamas.
Serangan mendadak yang tidak diketahui oleh Israel tersebut menewaskan sedikitnya 1.400 warga Israel dan juga menyandera lebih dari 200 orang yang kemudian memindahkannya ke Gaza.
Karena serangan tak terduga itu, Israel kemudian membombardir kota Gaza hingga saat ini.
Walaupun mengaku hanya menyasar kelompok Hamas, serangan Israel tersebut menewaskan sedikitnya 10.569 warga sipil Palestina, dan hingga kini masih terus berlanjut.
Dalam operasi militernya, Israel berniat untuk melenyapkan kelompok militan tersebut. Kini, 130 titik terowongan milik Hamas telah diledakkan oleh pasukan Zionis.
Telah diketahui, bahwa Tel Aviv sangat mencari keberadaan pemimpin tertinggi dari kelompok militan Hamas, Yahya Sinwar, yang diyakini tengah bersembunyi di terowongan bawah tanah yang menjadi jaringan utama dan markas mereka.
Lantas, siapakah sebenarnya pentolan Hamas itu yang saat ini menjadi target nomor satu Israel di Gaza? Memiliki nama lengkap Yahya Sinwar, pria yang lahir pada tanggal 29 Oktober 1962, di kamp pengungsi Khan Younis.
Sejak kelahirannya, Yahya Sinwar tumbuh sebagai seorang pengungsi yang berada di bawah pendudukan militer Israel.
Sebelum jadi keluarga pengungsi, pada tahun 1948 orang tua Sinwar, diusir secara etnis dari rumah mereka di Majdal-Askalan, karena wilayah itu telah diambil alih oleh pemukim Israel yang sekarang bernama Ashkelon.
Terluka oleh pengalamannya tumbuh sebagai pengungsi serta penderitaan yang dimilikinya akibat agresi Israel, Yahya Sinwar memiliki tekad yang kuat untuk melawan pendudukan Israel.
Dilansir dari Palestinian Chronicles pada Kamis (9/11), pria yang jadi petinggi Hamas tersebut dulunya adalah seorang aktivis yang berprestasi tinggi secara akademik di sekolah. Ia kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Islam di kota Gaza.
Yahya, juga membantu merintis Blok Islam dan menduduki beberapa posisi penting dalam kepengurusan di universitas itu.
Pada tahun 1982, Yahya Sinwar dan anggota pengurus lainnya pergi untuk mengunjungi seorang perempuan Palestina di Jenin, yang diduga menjadi korban atas upaya peracunan oleh Zionis.
Atas kunjungannya tersebut, Sinwar ditangkap karena dianggap berpartisipasi dalam kegiatan Islam subversif. Dirinya lantas ditahan secara administratif (ditahan tanpa dakwaan atau diadili) selama enam bulan.
Dalam masa tahanannya, pentolan Hamas tersebut bertemu dengan aktivitas lain, seperti Saleh Shehade yang kemudian memimpin sayap bersenjata Hamas hingga terbunuh pada tahun 2002.
Kehidupan Yahya Sinwar berlanjut, ia menjadi penanggung jawab untuk menyiapkan jaringan keamanan yang dikenal sebagai Majd, yang beroperasi secara rahasia ketika organisasi sekutu Ikhwanul Muslimin sebelum Hamas, Mujamma Islamiyya, tetap menjadi kelompok non-agresif sampai berdirinya Hamas di akhir tahun 1987.
Pada tahun 1988, Sinwar kembali ditangkap oleh Israel dan diduga mengalami siksaan yang kejam selama 6 pekan. Penangkapannya tersebut adalah buntut dari ditemukannya sel penyimpanan senjata milik kelompok Majd.
Berlanjut ke tahun 1989, Hamas pertama kali melancarkan serangannya yang signifikan, dan menewaskan dua tentara Israel.
Yahya Sinwar kembali disalahkan dengan tuduhan mendalangi serangan itu dan dijatuhi hukuman 426 tahun penjara.
Menjadi petinggi Hamas paling dikenal yang dibebaskan dalam kesepakatan pertukaran tahanan pada tahun 2011, Yahya Sinwar akhirnya kembali ke Gaza.
Ia kemudian terpilih menjadi Pemimpin Hamas yang bertanggung jawab di Jalur Gaza, menggantikan Ismail Haniyeh.
Sampai di tahun 2017, Hamas melakukan perubahan nama dan pembaharuan Undang-undang mereka, yang menunjukkan bahwa Gerakan Perlawanan Islam akan terbuka untuk menerima Two-State Solution (Solusi Dua Negara).
Di masa ini, Yahya Sinwar juga memainkan peran utamanya dalam percobaan memperbaiki hubungan antara Palestinian Authority (PA) atau Otoritas Palestina, yang dipimpin oleh Partai Fatah, dengan kelompok Hamas, namun upaya tersebut gagal.
Pada tahun 2018, di bawah komando Yahya Sinwar, kelompok militan Hamas menyiasati program kebijakan perlawanan tanpa kekerasan dalam usaha untuk membuka diri terhadap negosiasi diplomatik yang dapat menyudahi pengepungan di Gaza, menurut informasi yang dimuat di laman Palestinian Chronicles.
Kepemimpinan Hamas mendukung aksi protes massal tanpa kekerasan yang dikenal sebagai "Great March of Return", yang bermula pada 30 Maret 2018.
Namun, menyusul keputusan AS yang secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan terbunuhnya ratusan massa tak bersenjata di tangan pasukan Tel Aviv, Hamas kembali mengubah siasatnya.
Hamas lalu melancarkan perang Saif Al-Quds, yang didukung oleh sejumlah kelompok bersenjata lainnya di jalur Gaza.
Sejak itu, pidato dan penampilan publik Yahya Sinwar menjadikannya pemimpin yang populer di seluruh negara Arab.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi