Hangat-hangat Panas Dingin di Times Square (1)

Internasional | Jumat, 09 November 2012 - 09:18 WIB

Catatan DON KARDONO - New York

Tanggal 6 November 2012 kemarin, betul-betul saya manfaatkan untuk berkeliling melihat atmosfer Pemilihan Presiden (Pilpres) di Negeri Paman Sam, Amerika Serikat.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pagi-pagi buta, suhu masih di kisaran 2 derajad Celcius, saya melawan hawa dingin dengan berjalan menuju Subway, kereta bawah tanah di stasiun Pennsylvania, kawasan Medison Squere.

Dengan kereta Amtrak, saya menuju New Jersey, Pennsylvania, Wilmington, Baltimore, sampai Washington DC.

Dari dalam kereta itu, saya terus pantau melalui Wifi, bagaimana antusiasme publik di negara maju dan pengalaman berdemokrasi lebih tua ratusan tahun dari Indonesia.

Saya juga amati, kiri kanan di luar jalur kereta itu. Saya dengarkan apa yang menjadi bahan perbincangan publik di cafe, restoran, dan pusat-pusat bisnis.

Saya buka mata, buka telinga, buka rasa, dan buka apa saja yang bisa menangkap sinyal untuk belajar ilmu demokrasi di tempat asal muasal dan biangnya demokrasi.

Apa yang terjadi? Sepanjang perjalanan, dari berbagai kota di atas, suasananya dingin-dingin saja. Tidak sepanas di media, tidak sehangat di CNN dan NBC News yang paling serem mempertentangkan kedua kandidat, Obama vs Romney itu.

Fakta media denganfakta di lapangan, jauh di mata, sejauh Jakarta-New York yang harus diterbangi 23 jam minus waktu transit. Di sana pagi, di sini sore, di sana malam, di sini siang.

Di semua media, baik media konvensional, koran, majalah, tabloid, yang dicetak di atas kertas, suasananya seperti sudah saling intai, saling terkam.

Di sosial media, dari Twitter, Facebook, Up Date News, Website kedua kandidat, seperti sudah saling gigit, sudah saling cakar. Panas, pedas, keras, itulah yang saya tangkap sepanjang hari pelaksanaan Pilpres itu.

Fakta di lapangan jauh lebih cool. New York masih belum normal dari hantaman Megastorm Badai Sandy, yang mengobrak-abrik kota berpenduduk terbesar di AS itu.

Orang masih trauma badai, yang membuat listrik mampet lebih dari sepekan, bahkan sampai malam kemarin belum 100 persen pulih itu.

Karena itu, —seperti di catatan saya sebelumnya,— saya harus lebih bangga dengan PLN kita, jauh lebih cepat, lebih responsive, lebih tidak banyak cingcong, dibandingkan dengan departemen power (listrik) di New York.

Yang pasti, saya tidak melihat ada materi personal branding calon presiden di spanduk, umbul-umbul, vertical banner, baliho besar, bendera di kanan kiri jalan di penjuru kota.

Apalagi poster-poster yang merusak wajah kota dan memaku di pohon-pohon peneduh jalan? Tidak ada, sama sekali gambar Obama? Tidak ada juga gambar Romney.

Di bus, di kereta, di pesawat, di bandara, di stasiun bawah tanah, di stasiun bus, tidak ada ajakan mencoblos dari Capres-nya?

Lalu di mana mereka berpromosi? Menyampaikan visi misi? Memaparkan keunggulan jika memilih dirinya? Melaporkan kesiapan memimpin negeri?

Di mana mereka berjuang menaikkan elektabilitas? Dengan cara apa merebut popularitas sebagai Capres yang pantas? Lewat jalur apa komunikasi politiknya?

Jawabnya: hanya lewat media! Media cetak, media elektonika, media internet, media sosial, multimedia dan media bisnis. Apa maksudnya media bisnis?

Mereka menjual pin, kaus, topi, syal, stiker di berbagai merchandise shop di Amerika. Tentu dengan harga yang amat murah.

Misalnya, pin dibandrol dengan harga 1,99 dolar AS, stiker 10x25 centimeter seharga 2,99 dolar AS, kaus bergambar kandidat dijual 15 dolar AS.

Tetapi, saluran nomor satu, dalam berkomunikasi politik tetap melalui. Bukan outdoor  seperti baliho, spanduk, vertical banner, dan sebangsanya itu.

Ya, kita masih amat tradisional. Kita masih memperkenalkan wajah, gambar, dan kata-kata mutiara. Mereka tampil itu modalnya jauh lebih kuat, spirit, leadership, pemikiran-pemikiran perubahan, argumentasi, tawaran ide, dan mengeksplorasi isi otak sang calon.

Bukan lagi gambar, wajah, dan basa-basi pencitraan yang tak berisi. Mungkin kita juga akan ke sana, entah kapan

Black campaign juga dilakukan oleh kedua calon presiden. Serangan terhadap Romney misalnya, terang-teragan dengan media bisnis: di atas.

Banyak yang menjual stiker dan pin bertulis Just Say NO Romney! Itu bukan dibagi-bagikan, tetapi dijual dengan 1,99 dolar AS, hampir Rp19.000.

Dan ada pembelinya, lalu dipakai dengan cuek dan demonstratif. Coba kalau ini beredar di Indonesia? Saat Pilpres Indonesia? Entah jadi apa itu orang?

Suasana paling heboh kemarin, saat penghitungan suara Obama vs Romney terjadi di dua lokasi. Pertama di Democracy Plaza, markasnya NBC News di Rockefeller, Fifth Avenue Manhatten, persis di depan gedung tertinggi di New York yang menjadi favourit film-film drama romantis seperti Sex in The City, Pretty Woman, Home Alone, dan lainnya. Live dan branding Pilpres di lokasi itu sudah heboh sejak sepekan terakhir.

Kedua, di Times Squere, tempat paling berbinar di metropolitan New York. Ribuan orang berkumpul hingga pukul 01.00 untuk menyaksikan perhitungan live, yang ditampilkan di Giant LED di sepanjang square itu.

CNN News dan CNBC News live bersama-sama. Kejar mengejar poin selama proses perhitungan, sudah membuat kegaduhan yang luar biasa. Mirip nonton bola saat terjadi gol, ketika angka Obama merangkak naik.

Puluhan LED raksasa yang menempel di semua gedung di kawasan entertainmen dan downtown New York itu betul-betul atraktif. Orang rela berdingin-dingin menyaksikan detik-detik bersejarah election itu.

NYPD yang menjaga kawasan itu, santai-santai saja. Mereka hanya mengatur lalu-lintas, karena supir taksi juga ikut-ikutan nonton bareng penghitungan suara, yang malam itu langsung tuntas, selesai.

New York memang milik Obama. Kor Obama.. Obama.. Obama.. tidak bisa terhindarkan di kerumunan itu. Panas di televisi, dingin di outdoor, dan tetap hangat di Times Squere, termasuk caffe yang ada di sekitarnya.

Pilpres, betul-betul mirip pertandingan NBA di sana. Menghibur, sportif, dan tetap damai.

Sementara, musim dingin betul-betul sudah menebalkan kulit muka, menusuk-nusuk tulang, dan membuat konsumsi kopi dan alkohol meningkat.

Suhu rata-rata sore hari di bawah lima derajat, dengan dorongan angin berkecepatan 10-20 knot di kawasan Pier, WTC, Wall Street, Battery, dan sepanjang Hudson River, kalau orang Indonesia seperti saya sudah mirip hukuman dimasukan ke kulkas. Tidak banyak orang bicara Pilpres, terutama di kawasan yang paling parah terkena Badai Sandy itu.

Di Staten Island yang jumlah korban jiwanya terbanyak di New York, warganya tidak menggubris pesta demokrasi itu. Mereka menuntut listrik, listrik dan listrik. Mereka perlu pemanas, memasak, penerangan dan hampir semuanya, memerlukan power.

Sama dengan di New Jersey, yang paling parah terkena badai. Puing-puing bekas amukan badai itu, hingga kemarin juga masih berserakan, belum dirapikan.

Itulah bedanya dengan gempa bumi Jogja dan Jawa Tengah Selatan, tsunami Aceh, dan banjir di Padang.

Ada spirit gotong-royong, saling bantu, saling support, yang membuat pekerjaan pemerintah dalam recovery dan restorasi kerusakan fasilitas publik itu menjadi lebih cepat.

Di AS, orang hanya merasa turut bersedih. Itu mungkin sudah sangat baik dan sudah cukup solider.

Sementara pekerjaan teknis, angkat-angkat, fisik, itu dianggap tugas negara. Jadi, sekalipun sudah melibatkan petugas negara, termasuk NYPD (New York Police Departement), tetap saja tidak secepat, sesigap, selancar kalau digotong royong beramai-ramai.

Itulah, mengapa Mandiri Kotaku Bersih Jakartaku (MKBJ) 2012 kerja bareng Bank Mandiri, Indopos dan Pemprov DKI itu menjadi semakin penting dibudayakan. (ila/bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook