Pemerintah AS Masih Macet

Internasional | Rabu, 09 Oktober 2013 - 09:14 WIB

WASHIGTON (RP) - Shutdown Amerika Serikat (AS) memasuki pekan kedua. Hingga kemarin, roda pemerintahan belum bergerak.

Ketua House of Representatives (DPR) John Boehner ngotot tidak akan meloloskan anggaran sebelum Presiden Barack Obama mau bernegosiasi dengannya.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Menteri Keuangan Jack Lew mengeluhkan sikap keras kepala politisi Republik yang duduk di Kongres AS. Meski jumlah mereka lebih sedikit jika dibandingkan dengan politisi Demokrat, keengganan mereka menyepakati anggaran membuat pemerintahan Obama terpaksa jalan di tempat.

Apalagi, politisi Republik yang membentuk kubu mayoritas pada DPR juga gigih menentang anggaran.

‘’Dengan tidak segera menyepakati anggaran, Kongres sedang bermain api,’’ kata politikus 58 tahun tersebut. Dia berharap Kongres bisa segera meloloskan anggaran dan menyudahi shutdown yang kini mulai berdampak pada sektor bisnis.

Lew khawatir, jika shutdown berlangsung sampai 17 Oktober, AS akan kehilangan kesempatan untuk menambah plafon utang.

Saat ini batas maksimal utang AS tercatat 16,7 triliun dolar AS (sekitar Rp187.323 triliun). Seharusnya, pada tahun anggaran baru ini, Negeri Paman Sam bisa mendapatkan plafon utang yang lebih besar.

Namun, harapan itu bakal sirna jika anggaran tidak segera disepakati. Jika sampai 17 Oktober belum ada kesepakatan soal anggaran, AS terancam tidak bisa mengajukan utang baru.    

Lew menegaskan bahwa Obama tidak akan menuruti permintaan Republik untuk merevisi anggaran 2013/2014. Terutama, menunda pencairan dana operasional Obamacare alias undang-undang asuransi kesehatan yang menjadi program andalan Obama dan Demokrat sejak masa kampanye. Sikap Obama itulah yang menuai protes kubu Republik.    

Kemarin Boehner kembali menyatakan, sebagai ketua DPR, dia tidak akan begitu saja meloloskan anggaran. Meski, rakyat AS harus lebih lama menderita karena shutdown.

Ia mendesak Obama mau bernegosiasi dengan parlemen terkait dengan krisis finansial dan potensi resesi yang dampaknya bisa jauh lebih buruk dari 2008 tersebut.

‘’Jalan keluar krisis ini bukanlah pemungutan suara di DPR. Presidenlah yang mempertaruhkan kegagalan ekonomi ini dengan tidak mau berdiskusi dengan kami,’’ ujar Boehner.

Tapi, ia tidak memungkiri fakta yang menunjukkan bahwa sebagian besar anggota parlemen akan memberikan suara untuk Obama hanya agar masyarakat lepas dari dampak buruk shutdown.

‘’Saya tidak bermaksud menggiring AS pada ketidakberdayaan. Apalagi, tidak mampu membayar utang. Tujuan saya hanya satu, yakni duduk bersama presiden dan membahas situasi ekonomi ini dengan serius. Tapi, penolakan presidenlah yang membuat negara kita berada dalam situasi sulit seperti ini,’’ urainya menyalahkan Obama. Ia berharap presiden mau menghubungi dia dan mengajak berunding.

Pada 17 Oktober nanti, batas waktu pengajuan utang baru AS akan berakhir. Jika sampai waktu itu belum ada kesepakatan anggaran, AS tidak punya cukup dana untuk menggerakkan pemerintahan.

Meski, pada hari itu, ada dana 30 miliar dolar AS (sekitar Rp341,5 triliun). Uang sebesar itu akan langsung habis dalam waktu satu hari. Sebab, biaya operasional harian AS mencapai 60 miliar dolar AS (sekitar Rp682 triliun).

‘’Jika Kongres tidak menambah plafon utang, kita hanya punya waktu sangat sedikit sebelum skenario terburuk terjadi,’’ kata Lew dalam program ‘’State of the Union’’ yang ditayangkan CNN.

Kemarin, para pebisnis AS menyatakan bahwa shutdown yang sudah berlangsung selama sepekan itu mulai menunjukkan dampak serius. Terutama karena daya beli masyarakat yang tidak ada.

Meski Boehner terus mendesak Obama agar mau berdialog dengan parlemen, pemimpin 52 tahun itu bersikeras pada pendiriannya.

Menurut dia, parlemen yang memegang kunci. Untuk menyudahi shutdown, Obama meminta DPR menggelar pemungutan suara. ‘’Ada cukup banyak suara di parlemen untuk mengakhiri kekacauan ini sesegera mungkin,’’ ujarnya.

Sementara itu, Pentagon memutuskan untuk memanggil kembali sekitar 400.000 orang yang telah dirumahkan. Itu karena absennya sebagian besar karyawan membuat kinerja operasional pertahanan negara tersendat.

Salah satunya adalah aktivitas produksi Sikorsky, rekanan Pentagon yang bertugas membuat helikopter Black Hawk UH-60. Mulai kemarin, sekitar 2.000 karyawan Sikorsky kembali bekerja.(hep/c17/dos/jpnn/fia)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook