PORT-AU-PRICE (RIAUPOS.CO) - Pemerintah Haiti menetapkan status darurat negara karena masih mencekam setelah peristiwa pembunuhan terhadap Presiden Jovenel Moise (53).
Perdana Menteri Interim Haiti, Claude Joseph, mengatakan negaranya berada dalam status darurat nasional selama dua pekan ke depan. Dia mencoba menenangkan masyarakat dan menyatakan pemerintahan tetap terkendali.
"Saya meminta semua pihak untuk tenang. Segala sesuatunya masih terkendali Perbuatan tidak beradab ini akan mendapat balasan," kata Joseph dalam jumpa pers yang disiarkan oleh stasiun televisi setempat.
Dilansir Reuters, Kamis (8/8), Kepala Kepolisian Haiti, Leon Charles, mengatakan, anggotanya terlibat kontak senjata yang sengit dengan kelompok yang diduga sebagai pembunuh Moise.
Dalam kejadian itu, empat orang tewas di tempat, dan menangkap hidup-hidup dua orang. Sedangkan sejumlah orang lain berhasil kabur dan masih buron.
"Kami menghalangi mereka setelah mencoba meninggalkan tempat kejadian perkara. Saat itu kami terlibat baku tembak dengan mereka. Pilihannya mereka mati atau ditangkap," kata Charles.
Menurut Duta Besar Amerika Serikat untuk Haiti, Bocchit Edmond, para pelaku diduga adalah kelompok pembunuh bayaran asing yang sangat terlatih. Para pelaku diduga menyamar sebagai agen Badan Pemberantasan Narkoba (DEA) AS.
Mereka menyelinap ke rumah Moise di kawasan perbukitan Ibu Kota Port-au-Prince sekitar pukul 01.00 waktu setempat dan menghabisi sang presiden.
Sang istri, Martine, selamat dalam kejadian itu meski mengalami luka-luka. Dia saat ini diterbangkan ke Florida, Amerika Serikat, untuk mendapatkan penanganan medis.
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengecam kejadian itu sebagai tindakan kejam. Dia juga menyebut situasi di Haiti mengkhawatirkan. AS merupakan negara donor terbesar Haiti.
Pemerintahan Moise diwarnai dengan gejolak politik. Pengusaha ekspor pisang yang terjun menjadi politikus itu terpilih menjadi sebagai pada 2017.
Sejak itu pula pemerintahan Moise digoyang beragam isu, mulai dari korupsi hingga salah urus perekonomian. Moise juga dituduh berada di balik aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok geng setempat.
Kelompok aktivis setempat curiga geng itu dibentuk karena persaingan politik dan bisnis oleh para elite di negara itu. Moise juga pernah mengatakan ada kekuatan lain yang selalu memicu kerusuhan di negaranya.
Dia menuduh kerusuhan itu dibuat-buat oleh para politikus dan pejabat serta pengusaha korup yang tidak senang atas kebijakannya yang hendak melakukan reformasi politik dan menjalankan pemerintahan yang bersih di Haiti. Akan tetapi, Moise tidak bisa menunjukkan bukti-bukti terkait pernyataan itu.
Situasi politik dan keamanan di Haiti terus bergolak setelah dinasti politik Jean-Claude Duvalier dan mendiang ayahnya, Francois Duvalier, tumbang akibat demonstrasi pada 1986. Sejak itu pula sejumlah aksi kudeta dan intervensi negara asing terjadi di negara itu.
Mantan Presiden Jean-Bertrand Aristide dilengserkan melalui pemberontakan pada 2004. Saat itu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengirimkan pasukan penjaga perdamaian yang tugasnya berakhir pada 2019 lalu, meski kondisi Haiti masih kacau-balau.
Pembunuhan terhadap Moise dikhawatirkan membuat kondisi Haiti semakin tidak karuan. Apalagi negara itu tengah dibelit krisis ekonomi dan juga terdampak pandemi virus corona.
Selain itu, Haiti adalah negara yang kerap dilanda bencana alam seperti badai dan gempa bumi. Negara tetangga Haiti, Republik Dominika, bahkan terpaksa menutup perbatasan akibat kejadian itu.
Sumber: Reuters/News/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun