Korban Westerling Tuntut Kompensasi

Internasional | Rabu, 09 Mei 2012 - 09:24 WIB

JAKARTA (RP) - Sepuluh perwakilan keluarga korban pembantaian tentara Belanda di Indonesia pada 1947 secara resmi menuntut kompensasi dan permintaan maaf dari Pemerintah Belanda, Senin (7/5).

Pengacara Liesbeth Zegveld yang mendampingi mereka mengatakan para korban dibunuh dalam serangkaian pembantaian di desa-desa yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Sejarah Indonesia mencatat peristiwa itu sebagai ‘’pembantaian Westerling’’ yang diambil dari nama pemimpin pasukan pasukan Belanda Depot Speciale Troepen, Raymond Pierre Paul Westerling.

Lebih dari 3.000 orang dibunuh dalam waktu tiga bulan dalam operasi militer Belanda yang bertujuan untuk membersihkan provinsi itu dari pejuang-pejuang pro kemerdekaan dan kini saatnya Pemerintah Belanda mengakui perbuatan itu.

‘’Tuntutannya bertanggung jawab meminta kehormatan kembali dan ganti rugi, dalam surat itu kami ceritakan bahwa mereka punya ayah, anak dieksekusi begitu saja, dan Westerling ini mendapatkan mandat dari Pemerintah Belanda,’’ kata Ketua Tatasan Komite Utang Kehormatan Belanda, KUKB, Jeffry Pondakh, selaku pendamping keluarga korban saat dihubungi BBC.

‘’Dengan kata lain pemerintah Belanda ikut bertanggung jawab,’’ tambahnya.

Jefry menyebutkan memberikan waktu selama tiga pekan kepada Pemerintah Belanda untuk memenuhi tuntutan keluarga korban.

‘’Kami harap pemerintah Belanda mau berbicara dengan kita dan jangan sampai ke Pengadilan. Dan dalam tiga minggu diselesaikan secepat mungkin karena para janda itu sudah berusia lanjut,’’ ucapnya.

Bagaimanapun Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai para keluarga korban harus menyiapkan bukti-bukti kuat yang kemungkinan akan dipertanyakan oleh Pemerintah Belanda.

‘’Yang pasti harus ada bukti-bukti yang kuat, bahwa para korban atau keluarga korban itu ada di situ. Dan yang kedua menunjukan bahwa apakah korban bukan yang meninggal dan bagi yang meninggal keluarga korban apakah istri dan suami dengan menunjukan bahwa mereka adalah suami istri yang sah dari korban meninggal itu,’’ ujar Hikmahanto.

Ini bukan pertama kalinya Zegveld mewakili janda-janda dan anak-anak korban dugaan pembantaian di Indonesia. Tahun lalu, ia memenangi kasus serupa untuk para korban pembantaian Belanda di Rawagede, Karawang.

Zegveld mengutip penyelidikan oleh sebuah komisi Belanda pada 1954 yang menyimpulkan bahwa Pemerintah Belanda ‘’menerapkan cara-cara di luar hukum dan eksekusi’’ untuk menghentikan pemberontakan.

Laporan lengkap komisi itu tidak dibuka untuk umum. Namun media Belanda sudah pernah melaporkan adanya kasus-kasus pembunuhan semacam itu.

Kementerian Luar Negeri Belanda mengkonfirmasi bahwa mereka telah menerima surat dari Zegveld dan mereka sedang mempelajari permintaan itu.

Dalam suratnya, Zegveld menduga bahwa salah satu pembantaian terjadi di Desa Galung Lombok pada 1 Februari 1947.(ap/bbc/int)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook