RIYADH (RIAUPOS.CO) - Meski ketegangan antara Arab Saudi dan Iran terus meningkat, kedua negara tidak akan berperang. Setidaknya, hal itu ditegaskan Wakil Putra Mahkota Arab Sudi Pangeran Muhammad bin Salman (30), kepada The Economist. Dalam majalah terbitan Inggris edisi Rabu (6/1) itu, dia menegaskan bahwa Saudi tidak pernah membayangkan bakal berhadapan secara langsung dengan Iran di medan perang.
’’Siapa pun yang mendorong terjadinya hal tersebut (perang, red), dia adalah orang yang pikirannya tidak beres. Perang antara Arab Saudi dan Iran adalah awal bencana besar di kawasan Timur Tengah. Pasti kami tidak akan mengizinkan hal tersebut terjadi,’’ ujar pangeran yang menjabat Menteri Pertahanan tersebut.
Muhammad juga menegaskan, negaranya berharap Iran tidak akan pernah menjadi musuh terbesar mereka. Dia mengklaim, tindakan Saudi yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran justru merupakan langkah untuk melindungi Iran, tidak untuk menambah ketegangan.
Sebab, jika para diplomat Saudi dan keluarganya tidak ditarik pulang, bisa saja mereka diserang dan terluka karena sudah jelas kepolisian Iran tidak mampu menjaga gedung kedutaan mereka dari amuk massa. Jika sampai ada diplomat maupun keluarga mereka yang terluka, Iran justru akan malu dan posisinya di mata dunia bisa makin terpojok.
Menteri Pertahanan termuda di dunia tersebut juga menegaskan, tindakan Saudi yang mengeksekusi ulama Syiah Nimr al-Nimr sudah benar. Menurut Muhammad, pengadilan tidak pernah membeda-bedakan apakah seorang terdakwa beraliran Sunni atau Syiah. Pengadilan hanya meninjau kejahatan, prosedur, dan proses peradilan, memberikan hukuman serta melaksanakan hukuman.
Salah seorang pria paling berpengaruh di Saudi tersebut menegaskan, eksekusi Nimr sebenarnya tidak terkait dengan Iran. Terlebih Nimr adalah warga Saudi, bukan Iran. Respon penduduk dan pemerintah Iran terhadap eksekusi itu justru membuktikan bahwa Teheran ingin memperlebar pengaruh mereka ke negara-negara Teluk.
Ketika ditanya soal perang di Yaman, Muhammad menampik tudingan bahwa dirinyalah arsitek serangan udara di negara tersebut. Keputusan untuk melakukan serangan udara memang diambil sesaat setelah Muhammad menjabat Menteri Pertahanan.
Namun, kata dia, serangan tersebut melibatkan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, intelijen, dewan menteri, serta dewan keamanan dan hubungan politik. Rekomendasi dari berbagai pihak itu lantas diberikan kepada raja Saudi. Raja Salman-lah yang memutuskan rekomendasi apakah serangan dilaksanakan atau tidak.
’’Pekerjaan saya sebagai Menteri Pertahanan adalah mengerjakan apa pun keputusan raja,’’ ujarnya.
Muhammad menyatakan, Kerajaan Saudi terlibat dalam perang di Yaman sejak Maret tahun lalu karena militan Houthi memberontak dan merebut kekuasaan. Menurut dia, militan Houthi sangat berbahaya karena kerap berlatih di wilayah perbatasan Saudi dengan persenjataan kelas berat.
’’Apakah ada negara di dunia yang bisa menerima begitu saja militan dengan persenjataan seperti itu berada di wilayah perbatasan mereka?’’ ujarnya.
Alasan lain Saudi melakukan serangan, Houthi telah menjadi ancaman langsung terhadap kepentingan-kepentingan nasional Riyadh. Selain itu, militan Houthi mengabaikan resolusi yang ditawarkan PBB. Muhammad belum tahu kapan perang di Yaman bakal selesai. Dia berharap perang tersebut cepat usai. Namun, kenyataanya, sudah 10 bulan berjalan, konflik tidak kunjung padam.(sha/ami/mng)