Iran Samakan Trump dengan Hitler

Internasional | Senin, 06 Januari 2020 - 10:46 WIB

Iran Samakan Trump dengan Hitler
INTERNET

TEHERAN (RIAUPOS.CO) -- Pemerintah Iran mengecam keras Donald Trump. Bahkan menjuluki Presiden Amerika Serikat itu sebagai seorang teroris berdasi karena Presiden AS itu mengancam menyerang 52 sasaran di Iran bila Tehran menyerang warga atau aset-aset AS.

Qassem Soleimani, komandan militer utama Irak, terbunuh pada Jumat lewat serangan pesawat nirawak (drone,red) AS saat dalam iring-iringan di lapangan udara Baghdad. AS pun khawatir ada aksi balas dendam atas terbunuhnya komandan militer kebanggannya. Saat AS dan Iran perang kata-kata, Uni Eropa, Inggris dan Oman mendesak kedua pihak berusaha menghentikan eskalasi krisis.


"Seperti ISIS, Seperti Hitler, Seperti Jenghiskhan! Mereka semuanya membenci budaya. Trump teroris berjas. Dia akan belajar sejarah segera bahwa tak seorang pun dapat menaklukkan bangsa dan budaya agung Iran," kata Menteri Telekomunikasi dan Informasi Mohammad Javad Azari-Jahromi dalam cuitannya.

Soleimani adalah arsitek operasi militer dan bawah tanah luar negeri Iran dan memegang jabatan kepala Pasukan Pengawal Revolusi Quds. Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei pada Jumat berjanji bahwa Iran akan mengupayakan balas dendam atas kematiannya.

Tekanan Jelang Pilpres

Pada 2012 Donald Trump pernah menujum, Barack Obama akan menyatakan perang dengan Iran agar kembali terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Tapi, seperti banyak omongan atau cuitannya, kata-kata tersebut tak terbukti.

Delapan tahun berselang, ternyata Trump sendiri yang menggunakan taktik itu. Dia menyetujui serangan yang menewaskan Mayor Jenderal Qasem Soleimani, orang terkuat kedua di Iran setelah Ayatullah Ali Khamenei. Yang sekaligus membuka kemungkinan konfrontasi terbuka dengan Negeri Para Mullah tersebut.

Ya, banyak yang menduga, keputusan Trump itu diambil untuk mengambil simpati warganya. Untuk menunjukkan, "S di zamanku kuat kembali tho. Tegas, berani ambil keputusan terhadap orang yang akan merugikan warga dan kepentingan AS."

Apalagi di tahun politik seperti saat ini. Pemilihan presiden (pilpres) di depan mata, sedangkan popularitasnya terancam oleh proses impeachment karena skandal Ukraina. "Elemen politik domestik jelas berpengaruh," ungkap Michael Desch, guru besar di University of Notre Dame, kepada Agence France-Presse.

Yang dimaksud Desch, tekanan politik menjelang pilpres tahun ini. Trump ingin menunjukkan kepemimpinan yang tegas terkait sosok yang dianggap musuh negara. Pasalnya, selama masa jabatan pertamanya, Trump sering dikritik simpatisan Republik karena selalu menghindari konfrontasi militer.

Biasanya, pemimpin politik cenderung menahan kebijakan kontroversial saat kampanye. Namun, strategi Trump memang tak pernah terduga. Bisa jadi itu merupakan cara taipan berusia 73 tahun tersebut untuk mengalihkan perhatian dari isu impeachment yang membelitnya.

Seperti diketahui, akhir bulan lalu DPR AS memutuskan membawa proses impeachment Trump atas skandal Ukraina ke Senat. Jika dua pertiga anggota senator memutuskan Trump bersalah, dia bakal dimakzulkan.

CNN merilis temuan terbaru mengenai cerita di balik layar percakapan antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Yang berisi tentang dokumen pertukaran surel (surat elektronik) antara staf Office of Management and Budget Michael Duffey dan Kementerian Pertahanan.

Sebelumnya, e-mail yang serupa meminta agar dana bantuan untuk Ukraina ditangguhkan dan keputusan itu dirahasiakan. Namun, Pentagon (Kementerian Per tahanan AS) sebenarnya masih belum melaksanakan perintah itu.

Mereka resah bahwa keputusan tersebut melanggar beberapa aturan. "Ini adalah perintah yang jelas dari POTUS." Begitu balasan Duffey.

POTUS merupakan singkatan dari President of United States alias Donald Trump. Isi e-mail tersebut menegaskan bahwa Trump-lah yang memerintahkan pembekuan dana itu. Meskipun, Pentagon sempat menolak.

Charlie Sykes, pemerhati politik AS, mengatakan bahwa langkah Trump memang bakal menguntungkan dia dalam jangka pendek. Namun, dia tak memperhatikan efek jangka panjang yang tak bisa di kendalikan. "Perang hanya populer di awal. Setelah itu, mereka bakal jadi racun (bagi peng ambil keputusan, Red)," imbuh nya kepada The Guardian.(fiz)

Laporan JPg, Teheran









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook