INTERNASIONAL

Ratusan Legislator Senasib dengan Aung San Suu Kyi

Internasional | Rabu, 03 Februari 2021 - 09:46 WIB

Ratusan Legislator Senasib dengan Aung San Suu Kyi
Seorang tentara berjaga-jaga ketika pasukan tiba di sebuah kuil Hindu di Yangon sehari setelah kudeta militer di Myanmar, Selasa (2/2/2021).(AFP)

NAYPYIDAW (RIAUPOS.CO) -- Keberadaan Aung San Suu Kyi akhirnya diketahui. Nobelis Perdamaian itu kembali menjalani tahanan rumah menyusul kudeta yang dilakukan militer Myanmar. Kali ini bukan di Yangon seperti dulu. Melainkan di rumah dinasnya di ibu kota Myanmar, Naypyidaw. Informasi itu didapat salah seorang legislator Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

"Kami diberi tahu agar tak khawatir. Tapi, kami tetap khawatir. Akan sedikit melegakan jika kami bisa melihat fotonya (Suu Kyi, red)," terang legislator yang tak mau disebutkan namanya itu kepada Agence France-Presse.


Juru Bicara NLD Kyi Toe mengungkapkan bahwa penduduk sekitar melihat Suu Kyi berjalan di area kediamannya di Naypyidaw kemarin pagi (2/2). Analis politik Khin Zaw Win juga menegaskan bahwa Suu Kyi saat ini tampaknya dalam kondisi aman. Berbagai laporan menunjukkan dia tidak dalam bahaya.

"Saya rasa tujuannya adalah membuat dia jauh dari penglihatan publik. Makanya, dia dibawa ke Naypyidaw. Tempat itu jauh dari semua pusat populasi di mana aksi massa terjadi," ujar Herve Lemahieu dari Lowy Institute.

Menurut dia, junta militer yang menggulingkan pemerintahan pada Senin pagi (1/2) waktu setempat memang sengaja menyembunyikan Suu Kyi. Mereka juga akan memastikan untuk menjaga kesehatannya. Sebab, mereka sadar jika Suu Kyi sakit ataupun meninggal saat ditahan, itu akan memicu reaksi pembalasan dari penduduk.

Bagaimanapun, penahanan Suu Kyi membuat simpati masyarakat untuknya kembali naik. Sebelumnya, dia sempat banjir kritikan karena memilih bungkam terkait isu pembersihan etnis Rohingya di Rakhine.

"Aung San Suu Kyi adalah dewa bagi negara kami," ujar Merra, warga negara Myanmar yang ikut aksi menentang kudeta di Bangkok, Thailand.

Aksi menentang kudeta itu dilakukan penduduk Myanmar yang tinggal di luar negeri. Di antaranya, Thailand dan Jepang. Di dalam negeri justru relatif aman tanpa aksi massa.

"Kami ingin keluar dan menunjukkan ketidakpuasan kami, tapi Amay Suu (Suu Kyi, red) ada di tangan mereka. Kami tak bisa berbuat banyak saat ini, kecuali tetap diam," ujar salah seorang sopir taksi yang memilih tetap beroperasi meski jalanan sangat sepi.

Kemarin, sebagian penduduk sudah kembali bekerja seperti sedia kala meski dengan perasaan waswas. Bank-bank juga sudah kembali buka. Suu Kyi bukan satu-satunya yang menjalani tahanan rumah. Ratusan anggota parlemen Myanmar juga senasib dengan putri Bapak Bangsa Myanmar Jenderal Aung San itu.

Mereka ditawan di kediaman masing-masing di kompleks perumahan pemerintah di Naypyidaw sejak Senin. Ada lebih dari 400 anggota parlemen yang menjalani tahanan rumah. Mereka bisa berkomunikasi satu sama lain ataupun menghubungi konstituensinya via telepon. Tapi, mereka tidak bisa keluar rumah maupun meninggalkan kompleks tersebut.

"Polisi berkeliling di dalam kompleks, sedangkan tentara berjaga di luar," ujar salah seorang legislator seperti dikutip AP.

Mayoritas yang ditahan adalah anggota NLD dan partai-partai kecil lain. Mereka terjaga sepanjang malam karena takut dibawa pergi ke suatu tempat jika sampai tertidur.

Militer kini berkuasa penuh. Kabinet pemerintahan sudah dibubarkan dan diganti dengan yang baru. Ada 11 anggota kabinet yang terdiri atas jenderal militer, purnawirawan jenderal militer, dan mantan penasihat pemerintahan sebelumnya. Mereka dipimpin Jenderal Purnawirawan Thein Sein.

Sementara itu, Presiden AS Joe Biden mengancam akan menjatuhkan sanksi baru kepada Myanmar jika kudeta tetap berlangsung. Dulu Myanmar sempat disanksi, tapi dicabut di era kepemimpinan Presiden AS Barack Obama.

"Ini adalah serangan langsung terhadap transisi negara menuju demokrasi dan aturan hukum," tegas Biden.

Dia meminta komunitas internasional bersatu untuk menekan junta militer Myanmar agar melepas kekuasaan yang mereka rebut dari NLD serta membebaskan aktivis dan politisi yang mereka tangkap. Di pihak lain, Dewan Keamanan PBB kemarin menggelar rapat darurat untuk membahas kudeta di Myanmar. Ada ketakutan bahwa kudeta tersebut bakal berdampak buruk pada sekitar 600 ribu penduduk Rohingya yang masih tinggal di Rakhine.

Ibarat Membesarkan Anak Macan
Dari Barat, mereka beramai-ramai mengecam kudeta militer Myanmar. Mulai Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Uni Eropa, sampai presiden Amerika Serikat yang baru dilantik, Joe Biden.

Padahal, mereka juga yang sedikit banyak turut membuat Tatmadaw –sebutan militer Myanmar– bisa tetap sekuat sekarang meski mulai melonggarkan kekuasaan pada 2011. Ibarat membesarkan anak macan, kini beranjak dewasa dan tak bisa dikontrol lagi.

Mengutip The Diplomat, sejak 2014, misalnya, Akademi Pertahanan Inggris menjadi mentor dalam kursus singkat untuk Tatmadaw.

"Materinya menyangkut undang-undang kemanusiaan, perekrutan tentara anak, dan kontrol demokratis angkatan bersenjata," tulis Ben Dunant di The Diplomat yang dilansir pada 2017.

Para petinggi Tatmadaw juga secara bergantian diundang untuk mengikuti pendidikan di markas Akademi Pertahanan Inggris di Oxfordshire. Di sela-selanya mereka dijamu piknik atau main golf.

Meski tidak seterbuka Inggris, AS juga mendekati Tatmadaw. Dalam sebuah pertemuan pada Juni 2012, Menteri Pertahanan AS (kala itu) Leon Panetta mengumumkan rencana Washington DC merajut kerja sama militer dengan Tatmadaw. Relasi militer itu sejatinya sudah terjalin lama sebelum AS menjatuhkan sanksi pada 1990.

Pada 2017 itu pula, Jenderal Min Aung Hlaing yang kini menjadi otak kudeta pernah diundang ke Jerman dan mendapat seremoni penghormatan militer setiba di sana. Sebelum sampai ke Jerman, dia singgah di Austria dan juga mendapat sambutan hangat.

Setahun sebelumnya, Min Aung Hlaing juga punya kesempatan berpidato di hadapan Komite Militer Uni Eropa di Brussel, Belgia, sebelum kemudian mengunjungi Italia. Jauh sebelumnya, Tatmadaw juga pernah belajar ke Indonesia. Mengutip jurnal yang ditulis Ulf Sundhaussen, akademisi di Universitas Queensland, Australia, bertajuk Indonesia’s New Order: A Model for Myanmar, pada Desember 1993 SLORC mengirim delegasi ke Jakarta. SLORC adalah State Law and Order Restoration Council, nama resmi junta militer Myanmar (saat itu masih bernama Burma) ketika mengambil alih kekuasaan pada 1988 di bawah pimpinan Jenderal Saw Maung.  

Delegasi itu, tulis Sundhaussen, dipimpin Letjen Khin Nyunt, sekretaris pertama SLORC. "Menurut Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas, para tamu dari Brunei itu menyampaikan secara terbuka bahwa tujuan utama mereka adalah mempelajari dwifungsi (baik pertahanan maupun politik) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, waktu itu, Red)," tulis Sundhaussen dalam artikel jurnal yang dimuat di jstor.org.(sha/c7/ttg/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook