BAGHDAD (RIAUPOS.CO) -- Drama pengepungan Kedutaan Besar (Kedubes) AS berakhir. Ribuan orang pro-Hashed Al Shaabi, milisi Irak yang disokong Iran, akhirnya menarik diri dari Green Zone, area internasional di Baghdad. Mereka kembali ke seberang Sungai Tigris. Namun, ketegangan antara AS dan Iran jelas belum berakhir.
Rabu lalu (1/1) perseteruan demonstran dengan personel keamanan hampir saja pecah. Pengunjuk rasa mulai membakar bendera AS dan melemparkan batu ke dalam kompleks. Di sisi lain, pasukan penjaga kedubes menembakkan beberapa peluru gas air mata dan melukai setidaknya 20 orang.
Namun, pentolan kelompok militan Hashed Al Shaabi memerintah massa agar bubar sebelum tensi meningkat. Sore itu juga demonstran mengemas tenda dan meninggalkan Green Zone. "Pesan kalian sudah tersampaikan," tulis Al Shaabi dalam pernyataan resmi yang dilansir Agence France-Presse.
Mohammad Mohyeddin, juru bicara Kataib Hezbollah, mengatakan bahwa keputusan itu diambil setelah Al Shaabi mengamankan komitmen dari Perdana Menteri Irak Adel Abdel Mahdi. Mahdi berjanji bakal segera menggodok aturan yang menghapus izin pengerahan 5.200 tentara AS di Irak. Karena itu, faksi Kataib Hezbollah yang terkenal radikal di lingkup Al Shaabi pun ikut mundur.
"Sekarang bola panas ada di tangan parlemen. Kami sendiri sudah mencetak kemenangan besar dengan mendatangi Kedubes AS tanpa halangan apa pun," ungkap dia kepada Al Jazeera.
Setelah keadaan kondusif, mekanisme penjagaan Green Zone pun kembali diberlakukan. Namun, AS belum tenang. Mereka tahu bahwa insiden pengepungan tersebut punya arti yang luar biasa.
Biasanya, Green Zone tak bisa dimasuki sembarang orang. Wilayah tersebut merupakan tempat kompleks parlemen serta Kedubes AS yang dikelilingi tembok pelindung.
Satu-satunya jalan masuk menuju wilayah tersebut adalah melalui jembatan di atas Sungai Tigris.
Saat demonstran anti pemerintah berusaha menyeberangi jembatan, aparat biasanya langsung memuntahkan peluru tajam. Namun, kejadian saat massa Al Shaabi masuk jelas berbeda. Ribuan orang dengan mudah melewati jembatan dan pos pengecekan.
"Jika ada perintah, kami pasti akan menghentikan (arus pendemo, red). Tapi, tak ada perintah," ujar salah seorang personel tentara Irak yang menjaga Green Zone.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo harus membatalkan safarinya ke Ukraina dan negara Eropa Timur lainnya. Dia kembali ke Washington untuk menangani isu yang terjadi di Baghdad. Sementara itu, Menteri Pertahanan AS Mark Esper masih mempersiapkan 750 personel khusus untuk menambah kekuatan. "Serangan kali ini jelas dirancang para teroris dan kaki tangan Iran," ujar Pompeo.
Pompeo naik pitam lantaran melihat beberapa pentolan Al Shaabi dan Kataib Hezbollah. Di antaranya, Faleh Al Fayyadh, Abu Mahdi Al Muhandis, Qais Al Khazaali, dan Hadi Al Ameri. Namun, Pompeo hanya bisa marah.
Kenyataannya, Al Shaabi merupakan paramiliter yang diakui pemerintah Irak dan Fayyadh merupakan penasihat keamanan nasional Irak. "Semua ini menunjukkan berapa banyak kuasa Teheran di Baghdad," ujar Phillip Smyth, pakar kelompok militan Syiah.
Sebenarnya AS juga punya bantuan militer di Irak. Sejak invasi, pasukan militer Negeri Paman Sam itu melatih pasukan elite pemerintah Irak. Namun, mereka kalah jumlah dengan pasukan Al Shaabi.
Pakar Irak Hisham Al Hashemi mengatakan, insiden tersebut bisa berakibat buruk terhadap pemerintah Irak. Menurut sejarah, serangan terhadap Kedubes AS yang dibiarkan pemerintah tak pernah berujung baik. Baik kasus penyanderaan diplomat di Teheran, Iran, pada 1979 maupun serangan konsulat AS di Benghazi, Libya, pada 2012, semuanya berakhir kekacauan. Dua negara itu kini hidup dalam pengasingan di level internasional.
"Sanksi diplomatik dan ekonomi sudah terjadi di Iran, Syria, Libya, dan rezim lama Irak. Nasib pemerintah baru juga bisa berakhir seperti itu," ungkapnya.(bil/c10/sof/das)
Laporan JPG, Baghdad