Laporan ISHAQ BAHRI, Tokyo
Harapan hidup orang Jepang tertinggi di dunia. Untuk kaum hawa, harapan hidup mencapai 86,4 tahun, sedangkan pria sedikit lebih rendah, yakni 79,6 tahun.
Semua itu berkat program shokuiku (edukasi gizi) yang digalakkan sejak 50 tahun lalu.
DI pengujung Oktober, mentari tak selalu terbit tepat waktu di Negara Matahari Terbit. Mendung tipis sering menyaput langit membuat matahari malas-malasan menghangatkan pagi.
Jarum jam baru menunjuk pukul 07.00 ketika kami berkumpul di lobi Hotel Villa Fontaine, Shiodomi, Tokyo. Kami bertujuh, rombongan wartawan dari Indonesia, pagi itu tampil rapi berbaju batik.
Rabu (24/10), hari ketiga, kami menghirup udara Negeri Sakura. Hari itu rombongan journalist tour dari Indonesia dan Malaysia mengunjungi SD Nishikasai (Nishikasai Elementary School). Di sekolah itu kami akan mempelajari sistem makan siang bersama di sekolah.
Apa istimewanya makan siang di sekolah? Kami menuju SD Nishikasai dengan menggunakan Tokyo Metro, salah satu perusahaan kereta api di Jepang.
Sekitar 30 menit perjalanan naik Metro Tokyo, kami turun di Stasiun Nishikasai, disambung dengan berjalan kaki di trotoar yang lebar, mulus, dan bersih.
Jarak stasiun kereta api dengan SD itu hanya sekitar 300 meter. Gedung SD Nishikasai ternyata sebuah bangunan kuno untuk ukuran kota Tokyo yang supermodern.
SD Nishikasai memiliki 688 siswa dan 48 staf pengajar. Sekolah ini masih memegang teguh tradisi shokuiku (edukasi gizi) yang dijalani lebih dari 50 tahun silam. ‘’Kami memilih SD ini karena merupakan sekolah dengan siswa paling banyak,’’ kata Mangasa AF Siregar dari Yakult Indonesia.
Tak ada penyambutan berlebihan. Sebelum masuk ke gedung sekolah, kami diminta untuk mengganti sepatu dengan selop plastik yang telah disediakan.
Pertanyaan besar tentang makan siang bersama di sekolah pun mulai terjawab saat kami berada di ruang guru. Ternyata, intinya bukan sekadar makan siang, tapi yang terpenting adalah pendidikan soal gizi.
‘’Tujuan kami agar setiap siswa dapat belajar sejak dini tentang menu makanan dan pola makan yang sehat sehingga nanti mereka bisa mengatur kesehatan mereka melalui makanan secara mandiri,’’ jelas Kiyoe Yoshida, ahli gizi SD Nishikasai.
Meski tradisi makan siang bersama di SD Jepang itu sudah diterapkan lebih dari 50 tahun, adanya campur tangan ahli gizi di sekolah baru terjadi lima tahun terakhir. Saat ini 400 ahli gizi tersebar di sekolah-sekolah di Tokyo.
Siapa yang menanggung biaya makan siang ratusan siswa tersebut? ‘’Para wali murid,’’ kata Kiyoe Yoshida. Tapi, kata dia, hanya sebagian kecil. Pemerintah yang membayar lebih banyak.
Sebab, di Jepang sekolah, mulai SD hingga SMA, gratis. Kami juga diajak melihat proses memasak menu makan siang hari itu. Namun, kami hanya boleh melihat dari balik kaca, tidak boleh masuk ke dapur.(ari/ila)