BILA Cina atau Indonesia mati-matian mengendalikan laju penduduk, di belahan dunia lain, sejumlah negara justru kalang kabut memutar otak untuk meningkatkan jumlah kelahiran bayi. Kekhawatiran akan punahnya generasi penerus, kurangnya pendapatan pajak, hingga berkurangnya dukungan politik bagi partai berkuasa menjadi faktor utama pemerintah mendorong warganya menikah dan mempunyai anak.
Februari lalu boy band kenamaan asal Amerika Serikat Boys II Men tampil di Moskow, Rusia. Sejumlah media Barat mengklaim konser tersebut digelar atas permintaan Presiden Vladimir Putin sebagai bagian dari kampanye peningkatan jumlah kelahiran atau boomsa di Rusia. Putin berharap lagu romantis semacam I"ll Make Love to You menjadi pemanasan yang indah menjelang Hari Kasih Sayang yang jatuh pada 14 Februari.
Putin memulai kampanye kelahiran pada 2008 dengan mendeklarasikan Tahun Keluarga. Baliho raksasa dan plakat berisi dorongan agar masyarakat memiliki anak terpasang di mana-mana. Sebuah taman di Moskow, bangku-bangkunya secara khusus dirancang untuk pasangan agar bisa duduk sangat berdekatan, bahkan saling bercumbu.
Di Singapura, pada 9 Agustus 2012, tepat pada hari kemerdekaan, pemerintah setempat bekerja sama dengan produk permen mint ternama untuk mengampanyekan Malam Nasional untuk mendorong pasangan di negara kota tersebut meningkatkan angka kelahiran.
Mereka juga merilis iklan unik yang berbunyi, "Wahai rakyat Singapura, negara membutuhkan sebuah pertumbuhan, jadi lupakan mengibarkan bendera pada 9 Agustus. Aku adalah suami yang patriotik, kau adalah istri patriotik, mari kita tunaikan tugas mulia dan menciptakan kehidupan."
Pesan untuk memiliki lebih banyak anak menjadi lebih mendesak seiring meningkatnya ketidaksukaan terhadap kedatangan orang asing yang sekarang jumlahnya lebih dari sepertiga penduduk yang mencapai 5,2 juta orang. Minimnya penduduk asli mengakibatkan dukungan bagi Partai Aksi Rakyat (People"s Action Party) yang berkuasa sejak lama juga berkurang.
Selain Rusia dan Singapura, Jepang mengalami masalah yang sama. Negara Matahari Terbit itu memiliki perbandingan yang tidak seimbang antara kelahiran dan kematian. Populasi anak di bawah usia 14 tahun diyakini akan semakin menyusut. Diperkirakan, penyusutan rata-rata mencapai 1 anak tiap 100 detik sehingga dalam 1.000 tahun sudah tidak ada lagi anak kecil di Jepang.
""Jika penurunan ini berlanjut, tanggal 5 Mei 3011 Jepang masih merayakan Hari Anak dengan hanya 1 anak yang tersisa. Namun, 100 detik kemudian, tidak ada lagi yang tersisa,"" kata Prof Yoshida pada Mei 2012 lalu. (cnn/cak/c10/tia)