PBB Akui Negara Palestina

Internasional | Sabtu, 01 Desember 2012 - 11:47 WIB

JAKARTA (RP) - Posisi Palestina di PBB semakin kuat. Ini menyusul hasil Sidang Majelis Umum PBB di New York, Kamis (29/11) waktu setempat yang mengakui negara Palestina dengan mengesahkan sebagai Negara Peninjau.

Pemerintah Indonesia menyambut baik pengesahan ini.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Dalam sidang ini, posisi Palestina sebagai Negara Peninjau diputuskan setelah memperoleh dukungan dari 138 negara. Sementara itu sembilan negara lainnya menolak dan 41 negara lainnya mengambil sikap abstain.

Keputusan ini langsung disambut sumringah oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang saat pengambilan keputusan itu datang langsung di markas besar PBB.

Dukungan resmi Pemerintah Indonesia disampaikan langsung oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa di markas PBB.

‘’Indonesia bukan hanya mendukung. Tetapi ikut memprakarsai resolusi tersebut dengan beberapa negara lainnya sebagai co-sponsor,’’ kata Marty melalui keterangan tertulis.

Marty mengatakan, pengesahan Palestina menjadi Negara Peninjau di PBB memiliki simbol politik yang sangat penting. Terutama dalam urusan diplomatik luar negeri.

Menurutnya, melalui pengakuan ini politik luar negeri Palestina akan semakin lincah karena posisi mereka sudah diakui sebagai negara oleh masyarakat internasional.

‘’Dengan posisinya ini, Palestina juga memiliki hak untuk berperan aktif dalam seluruh organ-organ PBB,’’ tutur menteri yang pernah menjadi Duta Besar RI untuk PBB itu.

Menuju Two-State Solution

Sebenarnya Kamis (29/11) atau Jumat (30/12) WIB, bertepatan 65 tahun berselang setelah Resolusi 181 diketok dalam Sidang Umum PBB di New York, negara Palestina resmi terlahir kembali.

Persis seperti yang terjadi pada 29 November 1947 silam, ribuan warga Israel di Tel Aviv berselebrasi di jalanan setelah PBB mengesahkan Negara Israel melalui resolusi yang dikenal dengan Partition Plan.

Kemarin, ribuan warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza pun turun ke jalan merayakan kemenangan tersebut. Kemenangan itu diraih setelah 138 di antara 193 anggota badan dunia tersebut mendukung kenaikan status Palestina sebagai negara pemantau non-anggota. Sebelumnya, Palestina hanya berstatus “entitas”.

Sembilan negara menolak, 41 abstain, dan sisanya tidak hadir.

Presiden Palestina menyebut kemenangan itu sebagai peluang terakhir menuju two-state solution (solusi dua negara).

‘’Enam puluh lima tahun silam pada hari ini, Sidang Umum PBB mengesahkan Resolusi 181 yang membagi tanah Palestina menjadi dua negara dan menjadi akta kelahiran Israel,’’ kata Presiden Palestina Mahmoud Abbas seperti dikutip BBC.

‘’Hari ini sidang umum kembali digelar untuk mengeluarkan akta kelahiran Negara Palestina,’’ lanjut tokoh Fatah, faksi Palestina pesaing Hamas, itu.

Dengan status barunya tersebut, Palestina berarti berhak bergabung dengan berbagai organisasi internasional. Misalnya, WHO (Badan Kesehatan Dunia) dan ICC (Pengadilan Kriminal Internasional).

Tapi, itu baru di atas kertas. Dalam realitanya, kemenangan dalam Sidang Umum PBB tersebut baru sebatas kemenangan moral.

Dalam kenyataannya, mereka masih harus hidup di bawah penjajahan Israel yang menduduki wilayah mereka sejak kemenangan pada Perang Enam Hari 1967.

Gaza, walau dikuasai Hamas, diblokade Israel. Tepi Barat, tempat Pemerintahan Otoritas Palestina bermukim, dikontrol Israel dan Jerusalem Timur yang digadang-gadang sebagai calon ibu kota Palestina kini terus dieksploitasi Israel sebagai pemukiman.

Jadi, agar 100 persen menjadi negara merdeka, Palestina masih harus kembali ke meja perundingan dengan Israel yang secara tegas menolak status barunya tersebut.

Israel bersama Amerika Serikat dan Kanada adalah tiga negara kunci yang mempelopori penolakan terhadap Palestina di Sidang Umum PBB.

Israel serta AS pula yang secara keras menentang upaya Presiden Palestina Mahmoud Abbas memperoleh pengakuan penuh dari PBB bagi Palestina.

Padahal, berbagai perundingan antara Palestina-Israel selama ini selalu kandas di tengah jalan atau tak terimplementasi di lapangan. Termasuk, Perundingan Oslo 1993 yang melahirkan Pemerintah Otoritas Palestina dan solusi dua negara.

‘’Warga di sini sadar, ketika mereka bangun pagi ini (Jumat, 30/11, red), mereka masih hidup di bawah penjajahan Israel. Tapi, kami berharap (kemenangan, red) ini dapat menjadi senjata bagi Palestina untuk bergabung dengan ICC, sehingga bisa menekan Israel agar menghentikan atau memperlambat ekspansi pemukiman (di Jerusalem Timur, red),’’ kata Nadim Baba, seorang warga Ramallah, Tepi Barat, kepada Al Jazera,

Meski tak banyak melahirkan hasil signifikan, Sekjen PBB Ban Ki-moon tetap meminta Palestina dan Israel segera kembali ke meja perundingan.

‘’Saya konsisten dengan sikap saya selama ini. Saya percaya, Palestina punya hak yang sah untuk menjadi negara merdeka penuh. Saya juga percaya Israel berhak hidup dalam lingkungan yang damai dan aman. Dan hanya negosiasi yang bisa mewujudkan semua itu,’’ tegasnya sebagaimana dikutip BBC.

AS malah menyebut status baru Palestina itu sebagai kemunduran. Melalui duta besarnya di PBB, Susan Rice, Negeri Paman Sam tersebut bahkan mengancam mengurangi bantuan ekonomi kepada Palestina.

‘’Resolusi ini kontraproduktif dan menjadi penghambat bagi tercapainya perdamaian. Bagi Amerika, satu-satunya cara, meski mungkin sulit dan berliku, untuk mewujudkan Palestina merdeka adalah melalui perundingan langsung dengan Israel,’’ tegas Rice.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga menganggap resolusi tentang status baru Palestina itu hanya macan kertas: tak berarti apa-apa. Dia juga balik mengecam pidato Abbas di Sidang Umum PBB yang mengecam agresi militer Israel ke Jalur Gaza.

‘’Bukannya berbicara tentang rekonsiliasi, yang kami dapati hanyalah tuduhan-tuduhan beracun terhadap rakyat Israel,’’ ujar Netanyahu lewat juru bicaranya, Mark Regev, kepada Al Jazeera.

Reaksi keras dari AS dan Israel itu membuat perjuangan Palestina untuk mendapat kemerdekaan penuh masih jauh dari garis finis. Bahkan, untuk sekadar masuk WHO saja tak gampang. AS adalah donatur terbesar organisasi tersebut.

Tahun lalu, ketika Abbas berniat meminta pengakuan penuh Palestina dari PBB, AS langsung memotong bantuannya.

Apalagi masuk ICC yang bisa membuat ribuan pejabat sipil dan militer Israel diadili di Den Haag. Kalaupun diterima, peraturan di ICC tidak berlaku surut.

Artinya, mereka tak bisa mengadili kejahatan di negara anggota yang terjadi sebelum negara tersebut bergabung.

Selain itu, ada persoalan lain: yurisdiksi. Hingga kemarin, wilayah yurisdiksi Palestina belum jelas dan belum mendapat pengakuan internasional.

Tantangan lain datang dari dalam negeri Palestina. Yakni, bagaimana menyatukan semua faksi. Beruntung, sejak agresi Israel ke Gaza yang berakhir pekan lalu, dua faksi terbesar, Fatah dan Hamas, mulai bergandengan tangan.

Bahkan, saat pemungutan suara di New York berlangsung, Hamas mengorganisasi demonstrasi di Gaza untuk mendukung perjuangan Fatah. Tapi, tetap saja mereka skeptis terhadap realisasi resolusi PBB tentang status baru Palestina tersebut.

‘’Ada sekitar 200 atau 300 resolusi PBB yang tidak jelas implementasinya,’’ kata Ghazi Hamad, salah seorang pentolan Hamas, kepada Al Jazeera.

Indonesia Dukung Negara Palestina

Seperti diungkapkan Menlu Marty Natalegawa, bahwa pemerintah Indonesia mendorong masyarakat internasional harus mengambil langkah nyata bagi upaya mewujudkan hak-hak rakyat Palestina.

Di antaranya hak untuk merdeka dan berdaulat. Sebagaimana diketahui, saat ini Palestina terus berjuang melawan Israel yang ingin merebut jalur Gaza.

‘’Dunia tidak boleh lagi menutup mata terhadap penderitaan rakyat Palestina yang telah berlangsung lama,’’ ujar Marty. Dia menyampaikan meski selama ini terus dijajah, rakyat Palestina sejatinya telah membangun dan memiliki kemampuan untuk berperan sebagai sebuah negara yang utuh.

Paling penting adalah, Marty mengatakan, jika Indonesia juga menyampaikan agar aplikasi Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB dapat segera terwujud. Indonesia juga meminta dunia internasional tidak menolak permohonan aplikasi ini.

‘’Keanggotaan penuh Palestina di PBB sesuai dan konsisten dengan visi two-state solution,’’ kata dia.

Delegasi Komisi I Masuk Gaza

Di bagian lain, tim Komisi I DPR  dan rombongan lembaga kemanusiaan Indonesia sukses masuk ke Gaza, Palestina. Mereka membawa bantuan sebesar 800 ribu dolar AS, makanan dan obat-obatan untuk warga Gaza.

‘’Alhamdulillah kami bisa bermalam di Gaza, dan tadi siang salat Jumat dengan masyarakat di sana,’’ ujar pemimpin rombongan Mahfudz Sidiq melalui pesan singkat kemarin.

Rombongan masuk dari pintu perbatasan Rafah pada Kamis (29/11) petang. Total berjumlah 54 orang terdiri dari 10 anggota DPR, staf sekretariat DPR, relawan lembaga kemanusiaan, dan jurnalis yang diajak DPR meliput langsung ke Gaza.

‘’Kami dikawal oleh tim keamanan Mesir,’’ katanya.(ttg/wan/jpnn/ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook