Penanganan Kasus Novel Dinilai Belum Transparan

Hukum | Selasa, 31 Desember 2019 - 16:08 WIB

 Penanganan Kasus Novel Dinilai Belum Transparan
TERSANGKA PENYIRAMAN AIR KERAS: RM (foto kiri) dan RB, tersangka penyiram air keras terhadap Novel Baswedan. (Mifthulhayat/Jawa Pos)

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Pengungkapan dua tersangka penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan tidak mengendurkan desakan pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) independen. Sebab, ada kejanggalan dan tanda tanya dalam penyidikan kasus tersebut.

M. Isnur, anggota tim advokasi Novel Baswedan, mengungkapkan, selain kejanggalan dalam penetapan tersangka, pihaknya dibuat bingung lantaran aparat kepolisian memakai pasal 170 KUHP dan pasal 351 ayat 2 KUHP.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Tim advokasi Novel Baswedan melihat adanya upaya mengaburkan insiden keji yang dialami Novel memakai narasi dendam pribadi. ”Ada kecenderungan yang dibangun bahwa tersangka adalah pelaku tunggal dan menyederhanakan serta mengalihkan kasus kejahatan itu karena persoalan dendam pribadi,” katanya kemarin.

Menurut Isnur, hal tersebut penting untuk disikapi. Jika tidak, bukan tidak mungkin penanganan kasus Novel berhenti pada kedua tersangka. ”Memutus rantai permufakatan jahat dalam kasus ini,” ucapnya.

Dengan sejumlah temuan yang sudah diperoleh sebelumnya, kata Isnur, penyidik seharusnya memilih pasal 55 KUHP. ”Hal ini pernah dilakukan Polri saat mengenakan pasal 55 kepada Pollycarpus sebagai tersangka pembunuh Munir,” ungkap dia.

Tim advokasi Novel menilai saat ini kehadiran TGPF independen sangat penting. Terutama dengan komposisi tim yang diisi orang-orang berintegritas dan kompeten. ”Agar kasus serangan terhadap Novel dapat terungkap hingga aktor intelektual atau penggeraknya,” tegas Isnur.

Lebih lanjut, Isnur menyatakan bahwa keterlibatan aparat negara dalam penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu harus digarisbawahi semua pihak. Pemerintah tidak boleh tinggal diam. ”Perlu mendapat perhatian, evaluasi, dan kebijakan serius dari presiden,” cetusnya. Sebab, sangat berbahaya apabila aparat negara yang diberi berbagai kelebihan oleh negara malah melakukan tindak kejahatan.

Menurut Isnur, kejahatan yang dilakukan aparat negara bisa jadi jauh lebih sistematis dan berdampak ketimbang kejahatan yang dilakukan masyarakat. Sebab, aparat negara seperti polisi dibekali keahlian khusus, senjata, dan kewenangan. Bila didiamkan, lanjut dia, kejahatan serupa berpotensi memengaruhi penilaian masyarakat kepada aparat negara. ”Menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat,” imbuhnya.

Terlebih, kasus penyiraman air keras terhadap Novel yang terjadi 11 April 2017 memasuki hari keseribu pada 6 Januari 2020. Itu menunjukkan bahwa kasus Novel lambat ditangani Polri.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah yang juga bagian tim advokasi Novel menyampaikan, TGPF independen dibutuhkan untuk memastikan kasus tersebut ditangani sampai tuntas. Pengusutan perkara harus menyentuh aktor intelektualnya. Sebab, diyakini, dua tersangka itu tidak bekerja sendiri.

Wana menilai independensi kepolisian akan menjadi bias lantaran tersangka merupakan anggota Polri aktif. ”Ketika saat ini sudah diketahui siapa aktornya, seharusnya presiden dapat bersikap tegas,” tutur dia kemarin.

Ketegasan itu diwujudkan dengan membentuk tim yang independen untuk mengungkap semua fakta di balik penyerangan terhadap Novel. ”Tim itu berisi orang-orang yang tidak pernah memiliki interaksi atau relasi yang sangat dekat dengan kepolisian,” ujarnya. Dengan begitu, mereka bisa bekerja tanpa beban.

Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai hingga saat ini Polri belum juga transparan soal alat bukti yang menjerat kedua tersangka. Kondisi itu membuat banyak pihak merasa kasus hanya ditangani setengah-setengah. ”Pertanyaannya, bagaimana pertanggungjawabannya bila ternyata di pengadilan diputus bebas?” ucapnya. Begitu pula identitas tersangka yang belum diungkap.

Selain itu, potensi adanya aktor intelektual tidak dihiraukan Polri. Dengan kondisi tersebut, masyarakat akan bisa menilai memang ada yang sedang coba ditutupi. Bahkan dilindungi oleh Polri. ”Seakan-akan Polri menghindar dari inti utama permasalahan dalam kasus Novel,” tudingnya.

Menurut Boyamin, perlu diingat, pengungkapan kasus itu sebenarnya prestasi Kapolri Jenderal Idham Azis. Prestasi tersebut, tutur dia, jangan malah menjadi buah simalakama bagi mantan Kabareskrim itu. ”Maka, alangkah baiknya bila benar-benar semua dijelaskan,” ujarnya. Sebab, dalam persidangan, semua akan terbuka. ”Saat itu tentunya nama Polri akan dipertaruhkan,” imbuhnya.

Editor : Deslina

Sumber: jawapos.com









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook