Riau Pos Online–DPR RI mengusulkan perlunya dibentuk Kementerian atau komisi khusus
pengadilan agraria. Hal ini mengingat konflik pertanahan yang menumpuk di Badan Pertanahan
Nasional (BPN) dan banyak yang belum terselesaikan.
"Diperlukan Kementerian Agraria atau komisi khusus yang memiliki otoritas kewenangan untuk penyelesaian konflik agraria," ujar anggota Panja RUU Pertanahan Komisi II DPR, Zainun Ahmadi dalam diskusi “RUU Pertanahan” bersama Anggota DPD RI, Anang Prihantono, dan Asep Yunan Firdaus dari Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (30/4).
Zainun mengaku pesimis terhadap RUU Pertanahan yang kini tengah disusun DPR mampu
menyelesaikan seluruh konflik pertanahan yang kini menumpuk di Badan Pertanahan Nasional
(BPN), karena terkait UU sektoral lainnya. Seperti kehutanan, perkebunan, tambang, sumber
daya alam. Untuk itu diperlukan Kementerian Agraria dan atau komisi khusus yang memiliki
otoritas kewenangan tanah, tanpa harus ke pengadilan. "Apalagi menjelang pemilu, maka sulit
RUU Pertanahan ini akan selesai dan pro rakyat, karena banyak kepentingan yang
melingkupinya,” ujarnya pesimis.
Dia menyontohkan konflik tanah yang menumpuk di BPN, meski Kepala BPN Herdarman Supandji telah mendapat instruksi resmi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk pendistribusian tanah dan menyelesaikan konflik tanah dengan membentuk tim sebelas, namun konflik terus bertambah dan tak terselesaikan. "Jadi, diperlukan kementerian dan atau
komisi khusus seperti KPK untuk penyelesaian konflik agraria," kata dia lagi.
Sementera itu, DPD juga sepakat dibentuknya Kementerian dan komisi khusus tersebut dan
tetap melibatkan daerah. Hanya saja kata Anang, itu harus diberi batas waktu antara 10
sampai 15 tahun dan itu bersifat final, tak ada banding.
"Jangan seperti pengadilan hukum formal, karena justru inilah yang ditunggu-tunggu oleh
investor dan mafia tanah, di mana mereka dipastikan akan menang karena bisa selesai dengan
uang,” ungkapnya.
Asep pesimis RUU pertanahan ini mampu menyelesaikan berbagai konflik tanah yang ada di BPN selama ini, tanpa kehadiran kementerian dan atau komisi khusus agraria. Hanya saja komisi khusus tersebut harus memiliki kewenangan seperti KPK.
“Kalau sama dengan Komnas HAM, ya sia-sia saja. Tapi, itu tergantung komitmen politik
pemerintah dan DPR, apakah konflik tanah ini sudah sangat mengkhawatirkan-extra ordinary
sama seperti korupsi? Kalau sangat mengkhawatirkan, maka komisi agraria itu harus memiliki
kewenangan sama dengan KPK dan MK,” katanya.
Mengapa? Menurut Asep, kalau konflik agraria ini dikembalikan ke pengadilan umum, maka
‘wassalam’ lah bagi rakyat, mengingat rakyat tidak memiliki uang dan bukti-bukti yang
diperlukan oleh pengadilan. “Kalau sama seperti MK dan KPK, maka penyelesaiannya tidak
harus melalui pendekatan formal. Apalagi konflik tanah yang ada di BPN hanya 30 dari 74
juta hektare tanah. Sedangkan BPN berada di bawah Menko Perekonomian, maka langkah BPN mesti mendukung kegiatan ekonomi. Karena itu harus ditangani kementerian sendiri,” tambah Asep.(yud)