JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat minimal batas usia capres dan cawapres terus menuai protes. Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie menilai putusan tersebut menunjukkan kemunduran demokrasi dan kemerosotan independensi hakim konstitusi.
Pasalnya, MK mengakomodir batas usia capres-cawapres menjadi 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah
“Demokrasi itu dicapai dengan susah payah, 98 itu kan kita lewatin jadi jangan sampai sekarang kita malah mundur itu saya kira pesannya itu deh jadi ini kita tuh sedang, saya bilang apa ya istilah saya tuh, Indonesia sedang tidak baik-baik saja sedang tidak baik-baik saja karena konstitusi kita sedang terancam kemudian demokrasi kita sedang terancam, itu menurut saya;" kata Connie kepada wartawan, Minggu (29/10).
Ia mengakui, banyak kerabat dan jaringannya di luar negeri yang mempertanyakan putusan MK tersebut. Mereka mempertanyakan bagaimana kondisi demokrasi di Indonesia saat ini.
“Jadi ya mereka mempertanyakan kok bisa Indonesia berubah menjadi seperti ini” ujarnya
Connie juga mengkritik bagaimana proses hukum ini berjalan dan bagaimana MK dijalankan hanya untuk mementingkan kepentingan kelompok.
“Nah ini kan jadi pertanyaan, sekarang kita nggak usah perdebatan apa-apa, tapi tanya nurani kita, ini kan yang kita mau gitu, dan sampai kapan? Saya malah sampai bercanda bilanglah ngapain kok nanggung? Bilang aja MK besok-besok cucu presiden juga boleh jadi wapres umur 10 tahun atau 15 tahun kan jadi we cut all this headache karena gini ya drama ini” tegasnya.
Disisi lain, MK juga telah membentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK) untuk menangani sejumlah pelaporan terkait dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim MK. Materi laporannya terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam putusan perkara uji materi ketentuan batas usia capres dan cawapres yang diatur dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman