JAKARTA (RP) - Kebijakan adanya produk mobil murah atau LCGC (low cost green car) yang ditetapkan pemerintah melalui PP No.41 tahun 2013 tak sesuai dengan komitmen pemerintah dengan kebijakan mobil nasional, dan menjauhkan dari amanat konstitusi.
Di samping itu, pemerintah dituding hanya mencari gampangnya untuk mengukuhkan industri
otomotif lama yang sudah ada (asing dan incumbent), dan menenggelamkan industri mobil dalam negeri yang sudah mulai tampak geliatnya.
Padahal, harapan untuk memiliki mobil nasional sudah bangkit sejak 2012 seperti Esemka
sebagai karya anak bangsa. Hal itu diutarakan anggota Komisi VI DPR RI Prof Hendrawan
Supratikno, dalam dialog bertajuk ‘’Pro Kontra Mobil Murah’’ bersama pakar kebijakan publik Andrinof Chaniago, dan Ketua Bidang Advokasi Darmaningtyas di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (26/9).
‘’Mobil murah justru akan menjadikan transportasi khususnya Jakarta akan makin semrawut.
Karena itu pemerintah dituntut untuk mendorong investasi lebih besar pada infrastruktur dan
transportasi publik. Kalau tidak, maka negara ini akan mempertontonkan kegagalan dalam
memajukan kesejahteraan umum,'' ujarnya.
Kalau alasan-alasan kebijakan LCGC itu lemah dan ditolak masyarakat, maka kata Andrinof,
harus dihentikan. Menurut dia, enam alasan pemerintah semuanya lemah dan malah menyesatkan.
Seperti melayani 60 juta pengguna sepeda motor, harga murah seolah-olah ramah lingkungan,
daripada diserbu mobil asing, membangun industri otomatif tanpa komponen dalam negeri,
mengurangi pajak, dan menciptakan lapangan kerja.
“Harusnya memajukan industri mobil nasional, dan yang dibutuhkan masyarakat. Bukan mobil
pura-pura murah, sasarannya 85 persen sesat karena otaknya sesat, menyimpang, dan itu
berarti memangsa rakyat. Inilah kebijakan predator, karena merampok hak-hak rakyat dan
merubah rakyat menjadi konsumen dengan mengorbankan kesejahteraan keluarga, hanya untuk mencicil mobil,” ujarnya.
Sementara Darmaningtyas yang menilai kebijakan mobil murah sangat kontraduktif dengan
keputusan pemerintah menaikkan harga BBM beberapa waktu lalu. ’’Dua kebijakan ini sungguh sangat kontradiktif untuk satu issu yang sama. Bila pemerintah berpikir konsisten, maka kebijakan yang tepat adalah menaikkan harga BBM secara siknifikan dan mengalihkan subsidinya untuk pembangunan infrastruktur dan pengadaan sarana transportasi umum, baik bus, kereta api, kapal laut, maupun perahu-perahu kecil yang diperuntukkan oleh masyarakat, bukan justru memproduksi mobil murah,’’ ungkapnya.
Dia berpendapat, yang bisa dilakukan menghadapi kebijakan mobil murah tersebut menurut
Darmaningtyas, khususnya Pemda DKI Jaya, maka harus dilawan dengan menerapkan kutipan kemacetan di jalan-jalan tertentu seperti ERP (electronic road pricing), pembangunan
angkutan massal Mass Rapid Transit (MRT), dan lain-lain. “Saya sendiri akan mengajukan
judicial review ke Mahkamah Agung (MA) atas keberatan dengan PP No.41 tahun 2013 tentang mobil LCGC itu,’’pungkasnya (yud)