MOJOKERTO (RIAUPOS.CO) – Aris, 21, pemerkosa 12 bocah di Mojokerto yang telah divonis kebiri, kini menjalani hukuman di Lapas Kelas II-B Mojokerto. Kemarin (26/8) wartawan Jawa Pos Radar Mojokerto Imron Arlado berhasil mewawancarai pria bejat tersebut.
Apakah Anda sudah mendengar putusan pengadilan tinggi yang menjatuhkan vonis kebiri?
Saya sudah tahu. Saya dapat kabar itu dari teman di kamar (lapas). Bukan dari jaksa atau pihak lapas
Bagaimana menyikapi putusan itu?
Kalau hukuman 20 tahun, saya terima. Tapi, saya menolak dikebiri. Terlalu berat. Nanti saya tidak akan mau menandatangani (eksekusi) kebiri. Daripada dikebiri, mending saya ditembak mati saja.
Kenapa?
Percuma saya hidup kalau enggak bisa (maaf, Red) ngaceng (ereksi) seumur hidup. Mending mati saja!
Apa ada langkah hukum?
Saya sempat diminta kasasi. Tapi, saya tidak pernah dibesuk keluarga. Ibu sudah tidak ada. Kalau bapak ada di Jember. Tapi enggak pernah jenguk. Pokoknya, nanti saya tidak mau tanda tangan. Saya tidak setuju kalau sampai dikebiri.
Hukuman kebiri diberikan kepada pelaku kejahatan anak yang berulang-ulang. Anda sudah melakukan berapa kali?
Hanya dua kali. Waktu itu saya mengaku 12 kali. Tapi, itu pengakuan saat saya bingung diperiksa polisi. Ngaku ngawur saja. Saya tak bisa menghitung. Saya bingung.
Apa yang membuat Anda gelap mata dan selalu mencari korban anak-anak?
Saya sering lihat video porno itu. Pernah menemukan video anak-anak. Sebenarnya saya lebih memilih yang dewasa. Tapi, yang dewasa lebih sulit. Saya tidak suka ke BC (eks lokalisasi terkenal di Kota Mojokerto, Red). Karena saya tidak punya uang. Saya cuma bayaran Rp280 ribu seminggu sebagai tukang las. Kalau anak-anak, bisa diiming-imingi kue.
Bagaimana perasaan Anda setelah melakukan pemerkosaan?
Saya kesel (capek).
Apakah Anda menyesali perbuatan itu?
Iya. Saya sangat menyesal. Saya sudah minta maaf ke keluarga korban saat disidang di pengadilan. Tidak tahu apakah dimaafkan atau tidak.
Sanksi Berat agar Ada Efek Jera
Humas PN Mojokerto Erhammudin menegaskan, banyak hal yang menjadi alasan majelis hakim menjatuhkan putusan berat kepada Aris. Di antaranya, memberikan efek jera bagi pelaku. ”Ini kejahatan yang sangat serius,” tegas dia kepada Jawa Pos Radar Mojokerto.
Erhammudin menambahkan, kebiadaban Aris terekam jelas selama persidangan berlangsung. Aris selalu memburu korban secara acak dengan keliling di sekolah dan kompleks perumahan. Dengan target bocah yang rata-rata masih duduk di bangku taman kanak-kanak (TK). Padahal, anak-anak sebagai generasi penerus bangsa dilindungi negara melalui pengadilan. Perlindungan itu berupa putusan-putusan yang dianggap memberikan rasa keadilan di tengah masyarakat. ”Dan kami mencoba mencapai hal tersebut,” tambah dia.
Majelis hakim, kata dia, menjatuhkan hukuman kebiri kimia agar peristiwa serupa tak lagi terulang. Apalagi, kejahatan tersebut menimpa anak-anak dengan jumlah korban yang sangat banyak.
Bagaimana vonis yang berbeda dengan tuntutan jaksa? Erhammudin tak membantahnya. Namun, vonis lebih berat itu bukan tanpa alasan. Dia menerangkan, pidana tambahan berupa kebiri tersebut menggunakan dasar hukum UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pada pasal 81 ayat 5 ditegaskan, hukuman bisa lebih berat dari batas maksimal 15 tahun penjara menjadi 20 tahun, seumur hidup, atau hukuman mati jika proses pidana pemerkosaan terhadap anak itu dilakukan lebih dari satu kali. Apabila ketentuan pasal 81 ayat 5 diberlakukan, terdakwa bisa dikenai pidana tambahan berupa kebiri kimia seperti yang diatur dalam pasal 81 ayat 7. ”Untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Itulah putusan terbaik dari majelis hakim,” terangnya.
Sementara itu, Kajari Kabupaten Mojokerto Rudy Hartono menegaskan, jaksa penuntut sudah melakukan eksekusi pidana badan terhadap Aris kemarin. Meski begitu, kejari masih menunggu juknis pelaksanaan eksekusi kebiri kimia tersebut. ”Tadi kami sudah kirim surat ke kejati dan saya masih menunggu petunjuknya,” jelasnya.
Bagaimana dengan pernyataan IDI yang menolak mengeksekusi? Rudy menerangkan, eksekutor bukan hanya dokter. ”Kalau mereka terbentur dengan kode etik, bisa dilakukan oleh tenaga ahli lainnya. Semisal suster, bidan, atau tenaga medis nondokter. Lagian bukan dengan suntik saja. Tetapi bisa dilakukan dengan pil,” tuturnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwir