JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Enam orang terpidana pada kasus narkotika jenis sabu-sabu seberat 402 kilogram yang dikemas mirip bola dinyatakan lolos dari hukuman mati. Sejumlah anggota DPR heran mengapa hakim meloloskan para terpidana itu dari hukuman mati.
"Untuk kejahatan luar biasa narkoba dengan barang bukti sedemikian besar, pengurangan hukuman yang dilakukan oleh PT (Pengadilan Tinggi) Bandung tentu cukup mengagetkan dan menimbulkan tanda tanya besar," kata Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat Didik Mukrianto, kepada wartawan, Ahad (27/6/2021).
Didik mengatakan, hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkoba bukan hanya untuk memberikan hukuman setimpal ataupun untuk memberikan efek jera semata. Tidak kalah penting adalah untuk melindungi masyarakat dan menyelamatkan anak-anak bangsa dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang.
"Indonesia telah terikat dengan konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam Undang-Undang Narkotika. Oleh sebab itu, Indonesia justru berkewajiban menjaga warga negaranya dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal," ucapnya.
Dia menyebut dalam konvensi internasional itu, Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa. Sehingga, kata dia, penegakan hukumnya butuh perlakuan khusus, efektif dan maksimal.
"Salah satu perlakuan khusus tersebut yakni dengan cara menerapkan hukuman berat pidana mati," katanya.
Menurut Didik, meski independensi hakim harus dihormati, namun pengurangan hukuman kejahatan narkoba yang melibatkan 402 kg sabu dapat mengusik nalar dan logika sehat publik. Dia menyebut tidak bisa dibayangkan daya rusak sabu 402 kg tersebut terhadap generasi bangsa kita.
"Kejahatan yang tidak termaafkan. Masih ada langkah Jaksa untuk melakukan kasasi. Untuk keadilan dan untuk melindungi kepentingan generasi yang lebih besar lagi Jaksa harus kasasi," ucapnya.
Didik meminta masyarakat mengawasi setiap perilaku hakim. Jika masyarakat melihat ada perilaku hakim yang tidak sepantasnya, apalagi terbukti mentoleransi kejahatan atau bahkan ikut menjadi bagian kejahatan termasuk kejahatan narkoba, masyarakat dapat melaporkan ke pihak yang berwajib atau kepada Komisi Yudisial.
"Selain itu saya berharap Komisi Yudisial terus melakukan pengawasan yang intensif dan berkesinambungan terhadap hakim-hakim yang berpotensi berperilaku menyimpang," katanya.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Golkar Supriansa juga turut memberi komentar atas lolosnya jeratan hukuman mati bagi terpidana kasus sabu seberat 402 kg. Dia menyindir agar keluarga hakim yang memutus tidak terjerat narkoba.
"Semoga hakim yang sering memutus perkara narkoba dengan hukuman rendah tidak ada keluarganya yang terjangkit Narkoba. Karena dia baru sadar nanti kalau ada keluarganya kena baru tahu rasa bagaimana bahayanya narkoba dan sejenisnya itu. Ujung perjalanan pecandu narkoba adalah gila, penjara dan kuburan," tegasnya.
Supriansa menyebut sejak dulu dirinya setuju hukuman berat hingga hukuman mati kepada bandar narkoba berikut aktor intelektualnya. Terutama, kata dia, bandar dari luar negeri yang sering ditangkap polisi.
"Kasihan juga polisi capek menangkap pelaku narkoba, tapi dituntut atau bahkan diputus dengan hukuman yang rendah oleh hakim," ucapnya.
Dia mengapresiasi pengadilan negeri yang mengadili kasus itu dengan putusan hukuman mati bagi para pelakunya. Supriasna berharap hakim yang memutus meloloskan para terpidana hukuman mati diperiksa oleh Mahkamah Agung.
"Kepada Mahkamah Agung bisa memeriksa hakim tinggi yang memutus perkara itu yang sangat berbeda dengan putusan sebelumnya. Yang mana sebenarnya yang rasional? Putusan di pengadilan negeri atau putusan di pengadilan banding. Semua harus transparan sekarang agar masyarakat kembali mempercaya lembaran penegakkan hukum di Indonesia," katanya.
Sebagai informasi, enam orang terpidana pada kasus narkotika jenis sabu-sabu seberat 402 kilogram yang dikemas mirip bola yang diungkap oleh Satgas Merah Putih pada Rabu 3 Juni 2020 itu dinyatakan lolos dari hukuman mati.
Enam orang terpidana sebelumnya diketahui mendapat vonis hukuman mati di Pengadilan Negeri Cibadak pada 6 April 2021 itu, mendapat keringanan hukuman belasan tahun penjara setelah pengajuan banding yang dilakukan oleh kuasa hukum mereka diterima majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.
"Banding dari tim hukum kami diterima oleh PT Bandung yang tadinya dihukum mati ternyata dikabulkan menjadi ada yang 15 tahun ada yang 18 tahun. Syukur alhamdulillah kami bekerja keras untuk bisa membuktikan peran terdakwa berbeda itu yang kami harapkan adanya keadilan berketuhanan yang maha esa," kata Dedi Setiadi, mewakili kantor hukum Bahari kepada awak media, Sabtu (26/6).
Enam terpidana yang sebelumnya mendapat hukuman mati yang kini putusan banding mendapat hukuman 15 tahun masing-masing ialah, Basuki Kosasih dan Sukendar alias Batak. Sementara untuk yang mendapat hukuman 18 tahun penjara masing-masing Nandar Hidayat, Risris Risnandar dan Yunan Citivaga.
Dijelaskan Dedi mereka yang lolos dari putusan PN Cibadak dari hukuman mati adalah masyarakat tidak mampu. Sehari-harinya berprofesi sebagai nelayan dan petani.
Laporan: Yusnir (Jakarta)
Editor: E Sulaiman