WARGA PULAU PADANG YANG AKSI JAHIT MULUT DI SENAYAN

”Kami Hanya Ingin Selamatkan Pulau Padang’’

Hukum | Senin, 26 Desember 2011 - 09:37 WIB

”Kami Hanya Ingin Selamatkan Pulau Padang’’
Kendati sempat pingsan dan dirawat di RSCM Jakarta, puluhan warga Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti tetap melakukan aksi jahit mulut di depan Gedung DPR RI. (Foto: JPNN)

JAKARTA (RP) - Setelah pengaduan mereka tak ditanggapi di daerah, sekitar 80 warga yang mewakili 35.000 masyarakat Pulau Padang terpaksa ke Jakarta. Berharap pemerintah pusat bisa mendengar tuntutan yang sudah mereka perjuangkan sejak 2008 atau sebelum izin HTI PT RAPP diterbitkan.

Namun sejak tiba di Jakarta pada 16 Desember 2011 menggunakan dua bus dari Pekanbaru, hingga kini belum ada tanda-tanda tuntutan itu dipenuhi Kementerian Kehutanan (Kemenhut).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Berbagai cara telah dilaksanakan. Komunikasi dengan pihak terkait sudah dilakukan.

Bahkan warga sampai melakukan aksi jahit mulut untuk meyakinkan bahwa perjuangan mereka murni dari hati masyarakat yang tak ingin pulaunya rusak dan tenggelam jika operasioanal perusahaan terus berlangsung.

‘’Kami tegaskan, tak ada yang menunggangi perjuangan kami. Tak ada yang memprovokasi kami sampai melakukan aksi yang ekstrem seperti ini. Kami hanya ingin menyelamatkan Pulau Padang, cuma itu tujuan kami,’’ ungkap Isnadi Esman, perwakilan warga Pulau Padang pada Riau Pos.

Mereka sangat paham hutan yang memiliki fungsi ekonomi bagi negara dan masyarakat setempat. Namun jika berbagai peran itu tak seimbang, yang satu lebih ditekankan daripada lainnya, maka kelestarian hutan akan makin terancam.

Ini yang jadi ketakutan warga setempat. Kerusakan hutan yang tinggi akan mengakibatkan menurunnya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya, sehingga dapat menimbulkan dampak lingkungan yang serius.

Seperti perubahan iklim, berkurangnya keanegaragaman hayati, ketersediaan sumber daya air dan erosi tanah.

‘’Menurut pemerintah, apa yang ditakutkan masyarakat takkan terjadi, itu pendapat dan hasil kajian mereka. Tapi perlu diingat juga, penilaian masyarakat yang lebih tahu daerahnya sendiri berbeda sekali. Sejumlah LSM lingkungan hidup juga sependapat dengan warga,’’ jelas Isnadi.

Apapun tawaran pemerintah tampaknya tak dihiraukan masyarakat Pulau Padang selain RAPP angkat kaki dari pulau seluas 101.000 hektare itu.

‘’Kami takkan mau menerima penyelesaian Pulau Padang, baik melalui pemberian sagu hati, enclaving (dijadikan daerah kantong khusus) dan pola kemitraan. Kami inginkan hanya satu, hentikan operasional RAPP dan cabut SK Menhut Nomor 327 Tahun 2009 itu,’’ tegas Isnadi lagi.

Takkan Berhenti

Kini memasuki hari kesepuluh, warga yang tergabung dalam Forum Komunikasi Penyelamatan (FKP) Pulau Padang memilih tetap bertahan di depan gerbang DPR RI. Begitu juga aksi jahit mulut yang dimulai sejak Senin (19/12) pekan lalu, terus berlangsung.

Bahkan jumlah warga yang melakukan aksi serupa kemungkinan akan terus bertambah.

‘’Aksi kami di sini (depan DPR RI, red) tidak akan berhenti. Begitu juga aksi jahit mulut, bahkan jumlahnya akan terus bertambah jika operasioanal PT RAPP belum distop dan izinnya dicabut,’’ ujar salah seorang warga Pulau Padang, Sari Dewi ketika ditemui Riau Pos, Ahad (25/12).

Rencananya, Senin (26/12) ini, 10 warga lagi akan melakukan aksi serupa menyusul 28 warga yang sudah menjahit mulutnya. ‘’Jadi totalnya 38 warga,’’ terang Sari yang mengaku sudah siap jika mulutnya dijahit.

Pantauan Riau Pos, warga yang berada di bawah tenda sederhana itu tampak begitu tegar tanpa lelah memperjuangkan nasib pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia itu.

Meski kadang harus kehujanan dan kepanasan, namun tak menyurutkan tekad mereka untuk mencari keadilan.

Begitu juga kondisi warga jahit mulut yang terlihat sudah sedikit membaik. Mereka masih terlihat lemah dan pucat. Kesehatan mereka terus dipantau tim medis pasca dirawat di RSCM akibat pingsan saat melaksanakan aksi, lantaran tidak makan dan hanya minum.

‘’Saat ini di samping diberi vitamin dan obat dari dokter, kita juga mengontrol makannya. Kita akan paksa makan jika tak mau seperti sebelumnya,’’ cerita Sari.

Aksi warga ini tentu tak luput dari perhatian berbagai pihak, terutama kalangan DPR RI. Bahkan beberapa waktu lalu, Ketua DPR Marzuki Ali janji akan menyurati Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkilfli Hasan dan juga Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti, Irwan Nasir agar segera mencari penyelesaian persoalan ini.

‘’Saya akan telepon Pak Zulkifli (Menteri Kehutanan, red), saya akan buat suratnya. Saya juga akan buat surat ke Bupati Kepulauan Meranti karena melanggar hukum. SK 327 bertentangan dengan keputusan presiden,’’ kata Marzuki saat menerima perwakilan warga.

Tinjau Ulang

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI Drs H Wan Abubakar minta Kemenhut meninjau ulang keberadaan SK Menhut Nomor 327/2009 tentang izin HTI PT RAPP yang dianggap memberatkan banyak pihak terutama warga Pulau Padang. Itu sebagai langkah agar dalam pelaksanaan program, RAPP nantinya tak menimbulkan konflik berkepanjangan antara masyarakat dengan perusahaan.

Pihak Kementerian Kehutanan (Kemenhut) melalui Kepala Humas Kemenhut Masyud menegaskan, izin HTI PT RAPP di Pulau Padang sudah melalui proses dan sesuai prosedur, mulai dari rekomendasi bupati, gubernur hingga kelengkapan persyaratan lainnya.

‘’Kalau persyaratannya lengkap, tak ada alasan bagi Menhut untuk tak memberi izin,’’ tegas Masyhud beberapa waktu lalu.

Soal tuntutan warga agar izin dicabut, tentu saja ada proses dan prosedur yang mesti dilalui kembali dan tak langsung dicabut tanpa alasan dan pertimbangan yang bisa dipertangungjawabkan.

‘’Harus ada proses dari bawah lagi, yakni adanya rekomendasi bupati dan gubernur,’’ terang Masyhud.

Takut Lahan Diambil, Pulau Tenggelam

Perjalanan sekelompok masyarakat Pulau Padang yang mengatas-namakan Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP) bermula awal 2011, saat PT RAPP mulai melakukan sosialisasi untuk segera menjalankan operasionalnya di Pulau Padang.

Lahan itu sesuai SK Menhut 324 seluas 43 ribu hektare.

Penentangan sekelompok masyarakat dari Pulau Padang pada saat itu bermula dari ketakutan masyarakat akan pengambilan lahan yang dilakukan RAPP nantinya begitu telah menjalankan operasionalnya.

Setelah RAPP menebang hutan yang merupakan wilayah konsesinya, dikhawatirkan daya serap air berkurang, hingga akan menenggelamkan pulau itu.

Pihak Serikat Tani Rakyat (STR) Pulau Padang pun terus melakukan aksi-aksi di tingkat Kabupaten Kepulauan Meranti, Kecamatan Merbau bahkan tingkat Provinsi Riau di Pekanbaru.

Mereka menentang pihak perusahaan agar segera angkat kaki dengan sejumlah alasan. Di antaranya kerusakan alam, dampak lingkungan dan bahkan sampai pengambilan lahan masyarakat secara paksa.

Dalam berbagai aksinya, masyarakat Pulau Padang yang tergabung dalam STR Kepulauan Meranti terus meneriakkan bahwa mereka takkan terima kehadiran RAPP apapun alasannya.

Mereka juga menuntut Pemkab dapat mendukung penolakan itu dengan minta pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan untuk meninjau ulang izin yang telah dikeluarkan.

Sesuai Hukum

Di sisi lain, upaya sosialisasi terus dilakukan RAPP. Perusahaan bubur kertas ini menyampaikan, mereka akan masuk dan menjalankan operasional HTI sesuai aturan hukum.

Bahkan pihak perusahaan juga menegaskan akan mengeluarkan kewajiban mereka untuk menyejahterakan dan membantu masyarakat. Upaya sosialisasi terus dilakukan, baik ke Pemkab, DPRD, kepala desa, camat hingga tokoh masyarakat desa.

Secara objektif, dalam hal ini ada pertentangan antara sekelompok masyarakat yang menentang.

Namun begitu juga tak sedikit masyarakat yang menerima masuknya RAPP ke Pulau Padang. Namun dengan catatan kesungguhan perusahaan yang disampaikan dalam berbagai kesempatan sosialisasi diwujudkan segera tanpa dikhianati.

Sejumlah masyarakat Pulau Padang mengaku, yang jadi kekhawatiran masyarakat adalah kesungguhan perusahaan dalam mensejahterakan masyarakat.

Misalnya soal menampung tenaga kerja tempatan, lahan yang telah dikuasai dan termasuk dalam wilayah konsesi perusahaan, serta program-program yang membantu menyejahterakan masyarakat tempatan.

Pada umumnya masyarakat yang pernah ditanyai dalam aksi STR, mengkhawatirkan lahan dan rumah mereka digarap habis oleh perusahaan tanpa mendengar keluhan masyarakat.

‘’Lahan kami katanya akan diambil perusahaan, termasuk rumah, tanpa peduli nasib kami nantinya,’’ kata salah seorang pengunjukrasa, beberapa bulan lalu di halaman kantor Bupati Kepulauan Meranti, Jalan Dorak, Selatpanjang.

Saat Riau Pos memilih acak wawancara sejumlah pengunjukrasa, mereka menyampaikan kekhawatiran itu. Mereka juga mengaku lahir dan besar di Pulau Padang, bahkan sampai memiliki keturunan sana.

Masyarakat Pulau Padang berpikir, dengan masuknya PT RAPP dan mulai beroperasi, otomatis lahan yang lebih kurang 43 ribu hektare di Kecamatan Merbau itu akan segera dikapling dan digarap perusahaan. Padahal lahan itulah yang jadi mata pencarian masyarakat.

Tentu masyarakat yang umumnya mencari nafkah dari hutan terancam jadi penganggur. Sebab tak ada lagi hutan yang akan mereka kelola.

Belum lagi jika aktivitas itu bisa menenggelamkan pulau. Walau belum dikaji secara ilmiah keabsahannya, namun masyarakat jadi gamang dan memiliki ketakutan tersendiri.

‘’Kami mohon perusahaan memerhatikan kami sesuai janji. Kemudian dapat merealisasikan janji untuk mengakomodir kami jadi tenaga kerja mereka,’’ ungkap Anwar (47), warga Desa Tanjung Padang, Kecamatan Merbau.

Dituturkan pria yang juga mantan Ketua BPD Tanjung Padang itu, bahwa lahannya, menurut keterangan pihak RAPP seluas 2-3 hektare juga turut jadi wilayah HTI. Namun begitu, mau tak mau dia harus merelakannya jadi milik perusahaan.

Ada konsekuensi yang akan diterima, lahan itu apakah harus ditinggalkan, diganti rugi atau dipertahankan dengan segala risiko. ‘’Kita harap ganti rugi yang ditawarkan perusahaan bisa sesuai dengan harga sepantasnya,’’ ungkapnya.

Bahkan, lanjutnya, dia juga telah dengar kekhawatiran yang sama dari kelompok tani di tiga dusun di Tanjung Padang. Sebagian masyarakat di sana tak menolak masuknya perusahaan, namun sangat gamang dengan isu bahwa perusahaan akan meninggalkan masyarakat begitu saja, setelah mereka masuk.

Tiga Desa Tolak

Dari 13 desa dan satu kelurahan yang ada, masyarakat dari tiga desa menentang masuknya RAPP. Di antaranya, Desa Lukit, Bagan Melibur dan Desa Mengkirau. Masyarakat dari tiga desa itulah yang paling kuat untuk minta RAPP hengkang dari sana.

Salah seorang tokoh masyarakat Desa Lukit, H Abdul Ghani (54) membeberkan, Sabtu (24/12), masuknya RAPP ke Pulau Padang menyebabkan sesama anak beranak dan keluarga lainnya bisa saling bermusuhan.

Itu karena pertentangan pendapat tentang masuknya RAPP dan menjadikan sebagian besar lahan Desa Lukit sebagai wilayah konsesi HTI.

 ‘’Ada sekitar 60 persen masyarakat Desa Lukit yang menentang kehadirn RAPP. Kalau dukung RAPP, kami akan dikucilkan masyarakat desa,’’ beber H Abdul Ghani.

Ia juga berharap pemerintah dapat membantu menyelesaikan perpecahan masyarakat akibat persoalan HTI. Atas dasar itu pulalah, Pemkab Kepulauan Meranti dalam hal ini diintruksikan langsung oleh Bupati, Drs Irwan Nasir MSi untuk membentuk tim terpadu.

Dengan tujuan untuk membantu menyelesaikan persoalan yang menjadikan masyarakat di Kepulauan Meranti menjadi kubu-kubu.

Belum lama ini Pemkab melalui tim terpadu bersama seluruh kepala desa di Pulau Padang dan pihak perusahaan telah melakukan nota kesepahaman atau Momerandum of Understanding (MoU).

Tujuannya untuk bersama menyelesaikan persoalan dan mengawal ketat kesungguhan perusahaan untuk mensejahterakan masyarakat.

Untuk membantu dan mensejahterakan masyarakat, bupati juga minta Kemenhut menambah luas HTR yang nantinya akan ditanami karet. Dari 1.900 hektare jadi 3.000 hektare yang tersebar di seluruh desa.

‘’Hasil karet itu nantinya diperuntukkan bagi masyarakat yang tujuannya meningkatkan perekonomian yang kini masih lemah,’’ kata Bupati yang janji mengawal kesungguhan RAPP dalam melaksanakan berbagai program untuk menyejahterakan masyarakat, termasuk HTR itu sendiri.

Aksi yang dilakukan FKM-PPP di Jakarta saat ini, ditanggapi langsung sejumlah anggota DPR RI Dapil Riau, sehingga mereka juga langsung turun ke Pulau Padang, Sabtu (24/12). Mereka berdialog dengan sejumlah masyarakat perwakilan seluruh desa. Walau tak keseluruhan, hasilnya, sebagian warga beda pandangan dengan aspirasi yang diteriakkan di Jakarta.

Dari dialog, masyarakat tak keberatan RAPP masuk ke Pulau Padang. Namun harus janji membantu dan membangun Pulau Padang, serta menyejahterakan masyarakat.(amy)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook