Energi Alternatif Cukup 100 Tahun

Hukum | Minggu, 25 November 2012 - 08:34 WIB

JAKARTA (RP) - Cadangan minyak bumi Indonesia diperkirakan habis pada 2030. Namun tak perlu khawatir. Potensi energi baru terbarukan (EBT) yang sedang dikembangkan untuk pembangkit listrik mencukupi untuk 100 tahun mendatang.

‘’Potensi energi baru terbarukan yang kita miliki setara dengan 160 Giga Watt (GW) yang akan dikembangkan menjadi listrik,’’ ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Sesditjen EBTKE) Djadjang Sukarna kemarin.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Ada lima jenis sumber energi baru dan terbarukan yang sedang dikembangkan menjadi listrik di Indonesia antara lain energi matahari, air, angin, panas bumi (Geothermal) dan biomassa (sampah perkotaan atau limbah pertanian). ‘’Kita sudah ada masterplan untuk memanfaatkannya,’’ katanya.

Dengan cadangan energi fosil (minyak bumi) yang terus mengalami penurunan wajar jika pemerintah saat ini sedang gencar membangkitkan pengembangan energi baru terbarukan. ‘’Cadangan energi fosil terbatas, menipis dan pencariannya sudah sangat sulit dilakukan akhir-akhir ini,’’ ungkapnya.

Karena itu, pihaknya menilai Indonesia bisa dapat masalah besar jika masih tergantung pada energi fosil. Pasalnya diprediksi tahun 2030 cadangan minyak bumi Indonesia betul-betul akan habis. ‘’Harus ada energi alternatif yang bisa menggantikan energi fosil jika suatu saat nanti tidak ada minyak,’’ lanjutnya.

Dengan kondisi seperti itu, tak ada cara lain kecuali mulai membangun pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan. Disamping juga melakukan konservasi energi yang ada saat ini. ‘’Paradigma harus diubah, kita tidak lagi supply manajemen (mengatur pasokan). Tapi sekarang sudah ke demand manajemen (mengatur permintaan),’’ sebutnya.

Itu bisa dimaklumi, karena pertumbuhan konsumsi energi Indonesia lebih tinggi dibanding pertumbuhan konsumsi energi dunia. Berdasarkan data Kementerian ESDM, pertumbuhan konsumsi energi Indonesia mencapai tujuh persen per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi energi dunia hanya 2,6 persen per tahun.

Menurut Djadjang, konsumsi energi yang tinggi menimbulkan dampak yang besar bagi lingkungan. Setidaknya, minyak, gas bumi dan batubara dikuras lebih cepat, sementara penemuan cadangan minyak baru berjalan lamban. ‘’Kalau penemuan cadangan rendah, kebutuhan tinggi akhirnya ya tergantung impor,’’ tuturnya.

Guna mengatasi persoalan itu, lanjutnya, diperlukan upaya diversifikasi dan konservasi energi. Pemerintah akan berupaya meningkatkan pemanfaatan EBT, sementara masyarakat harus menghemat energi fosil yang tersisa. ‘’Harus ada manajemen energi di semua sektor, mulai industri, transportasi, rumah tangga dan komersial,’’ jelasnya. (jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook