Rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi harus mempertimbangkan berbagai aspek. Anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha mengatakan, bahwa yang paling penting bila pemerintah ingin menaikkan harga BBM harus ada payung hukum.
‘’Perppu sudah tidak mungkin. Paling mungkin adalah payung hukum untuk mempercepat APBN Perubahan,’’ kata Satya, kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (24/2).
Dia menambahkan, banyak hal yang harus dikaji. Tidak hanya asumsi makro, tapi juga suku bunga, kurs, inflasi dan lainnya. Ditambahkan dia, harus diperhatikan relokasi penghematan anggaran subsidi itu kemana. Menurutnya, kalau BBM naik Rp1.000 itu menghemat Rp38 triliun. ‘’Itu mau dikemanakan?’’ kata politisi Partai Golkar tersebut.
Karenanya, kata dia, inginnya dana itu masuk dalam pembangunan infrastruktur minyak dan gas, atau pun infrastruktur seperti transportasi umum dan juga memungkinkan langsung diberikan kepada orang yang memang layak disubsidi. ‘’Tetapi, untuk sampai ke orang ini harus melalui sensus, karena kita menggunakan data BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebelumnya,’’ katanya lagi.
Yang penting, lanjut dia, kalau kenaikan ini tidak diumumkan pemerintah secara bersamaan, nanti inflasi tahap pertama atau first round inflation tidak terkendali. ‘’First round inflation tidak terkendali apabila pemerintah cuma ngomong tapi tidak memutuskan. Kita ingin supaya ini cepat ditanggulangi supaya tidak ada kenaikan harga, sebelum dinaikkan benaran,’’ kata Yudha.
Dia mengatakan, kalau kenaikan Rp1.000 per liter, maka akan menyebakan inflasi lima persen. Sedangkan kalau naik Rp1.500 inflasi akan 5,5 persen. ‘’Tapi, itu first round inflation. Itu bisa dimitigasi apabila pemerintah langsung memberikan kebijakan seperti akan ada BLT, begini begitu, jadi masyarakat juga akan reda,’’ ujarnya.
Lebih jauh Yuda mengatakan, Selasa (28/2) pekan depan, pemerintah akan sampaikan kajian soal kenaikan harga BBM ke Komisi VII DPR. ‘’Selasa nanti pemerintah sampaikan kajian,’’ ujarnya. (sam/boy/jpnn/ila)