JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Vonis MK tentang Pemilu serentak menuai kontroversi karena sudah diputus pada 26 Maret 2013, tapi baru dibacakan 23 Januari 2014. Berikut wawancara JPNN dengan Mahfud MD yang ikut memutus perkara tersebut lima hari sebelum lengser sebagai ketua MK.
Vonis MK dinilai tanggung karena memberlakukan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden serentak pada 2019. Bagaimana tanggapan Anda?
Vonis MK itu sudah sesuai dengan asas kemanfaatan hukum. Di negara-negara maju, jika ada perubahan masalah-masalah mendasar, termasuk kenaikan gaji untuk kabinet sekalipun, diberlakukan pada periode berikutnya. Itu lebih etis dan steril dari kepentingan politik pada saat masalah sedang diperkarakan.
Ada alasan lain?
Ada, terutama menyangkut benturan dengan isi berbagai UU lain. Vonis MK itu hanya menyangkut pasal tertentu dari UU No: 42 Tahun 2008. Sangat mungkin ada isi UU yang terkena langsung oleh vonis itu, padahal tidak dibatalkan karena tidak diujikan ke MK. Itu kan bisa berbahaya. Itu perlu kerja yang tak selesai dalam waktu pendek.
Misalnya UU apa saja?
Misalnya, UU tentang Pemilu Legislatif. Ada juga UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Begitu juga mungkin ada pasal-pasal lain dari UU No: 42 Tahun 2008 yang harus direvisi. Tak kalah penting, sangat mungkin juga UU MK yang terkait dengan penyelesaian sengketa hasil Pileg dan Pilpres sangat perlu direvisi. Jadi, sudah tepat jika diberi jeda waktu pemberlakuannya agar persiapannya matang. Itulah asas kemanfaatan yang dipakai MK. Masak mau berbelok secara tiba-tiba.
Ada kecurigaan bahwa pembacaan vonis yang menunggu waktu lama karena ada intervensi politik?
Ya, ada juga yang secara tak rasional menuding saya ikut mengulur-ulur waktu. Alasannya, vonis itu sudah diputus oleh rapat permusyawaratan hakim saat saya menjadi ketua MK, tetapi baru dibacakan hampir setahun setelah diputus. Padahal, saya juga protes kepada MK karena tak segera diucapkan secara resmi. Itu menimbulkan tanda tanya dan kecurigaan kepada saya. Makanya, saya pernah jumpa pers mengecam MK yang tak segera memutus perkara tersebut.
Bagaimana masalah yang sebenarnya?
Pertengahan Januari 2013, saat saya masih Ketua MK, perkara itu masuk dan langsung diperiksa. Sehingga pertengahan Maret sidang-sidangnya sudah selesai dan ditutup. Tanggal 26 Maret saya pimpin rapat permusyawaratan hakim (RPH) dan sudah mengambil keputusan isi vonis.
Tapi, kan semua putusan RPH itu harus ditulis dulu dan dikoreksi secara bersama-sama sehingga harus dibaca pada hari yang berbeda dengan hari keputusan RPH. Diperlukan waktu dua sampai empat minggu untuk menulis dan mengoreksi bersama. Nah, saya pensiun sebagai ketua MK pada 31 Maret dan pergi dari MK pada 1 April. Sehingga saya tak ikut menentukan hari pembacaan vonis itu.
Mengapa molornya sampai sepuluh bulan?
Itulah yang saya protes karena saya selalu ditanya orang. Saat saya akan pergi itu sudah ada kesepahaman akan dibaca secepatnya, yakni sekitar April. Tapi, molor terus. Saya tak bisa ikut menentukan karena sudah bukan ketua MK lagi. Tapi, saya sampaikan bahwa sikap MK itu terkesan terombang-ambing oleh politik di luar MK. Saya yang selalu ditanya orang juga merasa risi.
Anda kemudian memprotes secara terbuka?
Ya, seperti diberitakan secara meluas pada 8 dan 9 Januari 2014, melalui pers saya mengkritik MK yang menggantung kasus tersebut. Waktu itu saya bilang, saya mendukung Effendi Gazali yang mengatakan akan mencabut permohonannya sebagai protes kalau digantung-gantung seperti itu.
Apa Anda sampaikan itu ke Hamdan Zoelva? Apa reaksinya?
Hamdan mengatakan kecewa dengan kritik saya melalui pers. Katanya, tak ada soal politik atas lamanya pembacaan putusan itu.
Masalahnya hanya dua. Pertama, karena kasus Pilkada terlalu banyak sehingga tak sempat merampungkan koreksi atas perkara judicial review itu. Kedua, karena setelah tertangkapnya Akil Mochtar, MK menjadi sibuk sekali sehingga menjadi tak mudah mengatur jadwal. Itu jawaban Hamdan. Benar atau tidak, sudahlah anggap selesai. Sekarang kan sudah divonis.(*/c10/tom/jpnn)