JAKARTA (RP) - Gelar pahlawan nasional sebaiknya dibatasi hanya pada orang-orang yang terlibat secara fisik dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Setelah itu, tidak ada lagi yang mendapatkan gelar pahlawan nasional.
Begitu pandangan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon usai diskusi dan bedah bukunya yang berjudul "Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Imam DI/TII" di Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Rabu (24/4).
"Di Amerika Serikat saja kan gelar pahlawan nasionalnya sudah distop, terlalu banyak nanti," katanya.
Menanggapi usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang akan dikaji ulang oleh Kementerian Sosial, ia mengaku setuju Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional.
"Kalau Pak Harto kan masih ikut (perjuangan merebut kemerdekaan), sementara Gus Dur baru lahir kemudian. Ya kalau Pak Harto saya rasa tidak masalah jadi pahlawan nasional," katanya.
Disinggung tentang tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilakukan Soeharto semasa menjadi Presiden, ia mengatakan tidak masalah karena Alimin, seorang tokoh PKI juga mendapat gelar pahlawan nasional.
"Tidak masalah, Alimin (tokoh PKI) saja mendapatkan gelar pahlawan nasional sejak 1946. Gelar pahlawan nasional sebaiknya dibatasi pada orang yang berjuang secara fisik merebut kemerdekaan sampai 1949," katanya.
Setelah tahun itu, kata dia, pemberian gelar pada orang-orang yang berjasa bisa diberikan dalam istilah lain, seperti pahlawan demokrasi, pahlawan kebudayaan, atau pahlawan olahraga sesuai jasa yang diberikan.
"Kan banyak juga atlet yang membawa harum nama Indonesia di mata internasional dalam bidang olahraga, seperti Rudi Hartono. Untuk Gus Dur saya rasa lebih tepat digelari sebagai pahlawan demokrasi," kata Fadli Zon. (dem/rmol)