Hacker Serang Situs Kepolisian Australia

Hukum | Sabtu, 23 November 2013 - 09:33 WIB

JAKARTA (RP) - Panasnya hubungan Indonesia dan Australia merembet ke dunia maya. Cyber war terhadap Australia kembali marak setelah sempat mereda beberapa waktu lalu.

Aksi hacking situs berkode au dilakukan menyusul sikap Pemerintah Australia yang enggan meminta maaf atas penyadapan terhadap Indonesia.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Tidak tanggung-tangung, situs yang di-hack adalah website milik Kepolisian Federal Australia (AFP) dan Bank Sentral Australia. Yakni, www.afp.gov.au dan www.rba.gov.au.

Serangan tersebut dilakukan 20 November lalu. Namun, yang berhasil diserang hanya situs milik AFP. Situs tersebut hingga kemarin masih down dan belum bisa diakses.

Sementara itu, situs Reserve Bank of Australia memang sempat tidak bisa diakses beberapa jam pada saat diserang. Namun, kembali aktif karena bank tersebut memiliki proteksi berlapis terhadap situsnya.

Klaim serangan terhadap situs kepolisian Australia dikeluarkan di Twitter oleh pemilik akun @MD_JKT48. Bunyinya, http://www.afp.gov.au.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Arief Sulistyanto menegaskan, peretas situs resmi The Reserve Bank of Australia dan Australian Federal Police (AFP) yang mengklaim dari kelompok Anonymous Indonesia belum tentu juga itu benar-benar orang Indonesia.

‘’Kalau mengatasnamakan orang Indonesia, belum tentu orang Indonesia,’’ tegas Arief kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jumat (22/11).

Dijelaskan Arief, untuk mengetahui siapa peretas itu tentu harus diteliti dulu. Mulai dari data centernya, seperti apa caranya meretas dan kemudian dilakukan penelusuran lagi.

‘’Kami belum memastikan apakah itu orang Indonesia,’’ kata Arief. Sebab, kata jenderal bintang satu ini, hacker merupakan orang yang sudah betul-betul menguasai masalah teknologi informasi.

‘’Tidak mungkin mereka meng-hacker menggunakan identitas asli. Itu hacker jujur alias bodoh,’’ ungkap Arief. Arief menambahkan, terkait peretasan sistem IT itu harus dilihat di mana data centernya. Sebab, lanjutnya, ini juga berkaitan dengan yuridiksi penegak hukum yang belum melakukan penyidikan.

‘’Kalau yuridiksinya di luar negeri atau data centernya di luar negeri, jadi yuridiksi penegak hukum di daerah setempat,’’ katanya.

Arief pun menambahkan, juga harus dilihat bagaimana cara hacker meretasnya, apakah dengan metode Dos, Ddos, atau Device. Setelah itu, kata dia, baru dicari IP address-nya.

Namun, ia pun memastikan setelah ditemukan IP address belum tentu juga itu berasal dari Indonesia. ‘’Bisa jadi ada banyak software untuk menyamarkan yang namanya proxy dan lain-lain,’’ katanya.

Seperti diketahui, situs resmi RBA dan AFP diserang. Hal ini diduga karena buntut kasus terbongkarnya penyadapan sejumlah pejabat publik Indonesia oleh Australia dan Amerika Serikat beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar menjelaskan, kerja sama people smuggling dilakukan Polri dan AFP sejak 2007.

Kedua lembaga tersebut fokus pada penegakan hukum terhadap perkara penyelundupan manusia melalui perairan Indonesia.  

‘’Kerja samanya adalah saling tukar menukar informasi terkait aktivitas orang-orang yang ingin mendapat suaka politik (asylum seeker) di Australia,’’ terangnya, Jumat (22/11). Kedua belah pihak sepakat mencegah pencari suaka keluar dari Indonesia dan mendeportasi mereka ke negara asalnya.

Dalam pelaksanaannya, Mabes Polri mendapatkan bantaun langsung dari AFP. ‘’Di embassy Australia di Jakarta ada atase kepolisian dari AFP. Begitu juga dengan Polri yang menempatkan atase di Canberra,’’ tambahnya.

Kerja sama memerangi people smuggling digagas dalam pertemuan di Bali pada 2002, yang menghasilkan kesepakatan Bali Process.

Keanggotaannnya terdiri dari 45 negara yang sebagian besar berada di benua Asia. Namun Brigjen Arief Sulistyanto menjamin keamanan piranti cybercrime bantuan Australia. Peralatan milik Subdit Cybercrime Polri itu tidak terkoneksi dengan satelit maupun operator selular.

‘’Ini peralatan-peralatan lab dan forensik, (misalnya, red) untuk memunculkan SMS, file yang sudah terhapus, mengambil gambar dari BlackBerry, dan fungsi lainnya,’’ terangnya kemarin.

Beberapa peralatan bantuan Australia adalah piranti CCIC (cyber crime investigation center) di Bareskrim dan CCISO (cyber crime investigation satellite office) yang ditempatkan di sejumlah polda. Bantuan tersebut diberikan pada 2011.

Fungsi utamanya adalah mengidentifikasi dan menganalisis barang bukti yang berbentuk data digital. Piranti tersebut akan mengubah data digital menjadi bukti material.

Sejumlah kejahatan macam e-mail hijacking, cracking, atau penipuan berbasis online telah berhasil diungkap melalui bantuan peralatan tersebut.

Yang jelas, segala bentuk kejahatan yang barang buktinya berupa data digital bisa diungkap dengan alat tersebut. ‘’Kami sudah cek, Insya Allah tidak ada (penyadapan), karena tidak terkait dengan selular ataupun satelit,’’ tambahnya.

BPPT Usulkan Audit Teknologi

Tindakan penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sejumlah pejabat tinggi negara, membuktikan lemahnya sistem keamanan teknologi informasi dan telekomunikasi Indonesia. Khususnya, sistem yang dimiliki pemerintah.

Menurut Kepala Balai Iptek Net Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Irwan Rawarusdi, pemerintah seharusnya melakukan audit teknologi terhadap sistem yang dimiliki pemerintah.  

‘’Salah satu terasa kurang di Indonesia belum adanya satu institusi sebagai auditor teknologi. Menurut kami itu perlu, karena teknologi itu banyak, memilihnya saja perlukeahlian. Nah, mungkin diperlukan sebelum teknologi masuk Indonesia, sudah ada auditornya. Baru kemudian memilih, lalu penggunaannya,’’ jelas Irwan dalam konferensi pers di gedung BPPT, Jumat (22/11).  Irwan melanjutkan, adanya auditor teknologi bisa mencegah terjadinya penyadapan.

Sebab, hasil audit akan menunjukan kelemahan teknologi dari sistem keamanan yang diaudit.(ken/gen/byu/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook