JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Amnesty International Indonesia menyesalkan langkah aparat kepolisian yang secara tiba-tiba menangkap peneliti kebijakan publik, Ravio Patra. Polisi dinilai, harus hati-hati dalam menuduhkan pesan bernada hasutan rencana kerusuhan kepada Ravio, yang justru tengah mencari perlindungan atas dugaan peretasan telepon seluler yang dimilikinya.
"Jadi seharusnya polisi membongkar pelaku peretasan tersebut, bukan justru menangkap Ravio. Polisi harus terlebih dahulu menyelidiki perkara sebenarnya," kata tim advokasi Amnesty International Indonesia, Aldo Kaligis dalam keterangannya, Kamis (23/4).
Aldo memandang, hal itu merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum. Polisi seharusnya lebih jeli dalam melihat suatu kejadian dan dapat membedakan mana korban mana pelaku, serta tidak begitu saja melakukan penangkapan.
"Jangan sampai tindakan penindakan hukum kepolisian dianggap sebagai cermin sikap anti kritik pemerintah, sehingga menciptakan kesewenang-wenangan," sesal Aldo.
Aldo mengaku, sudah berkomunikasi dengan Direskrimum Polda Metro Jaya dan meminta Ravio Patra untuk dibebaskan syarat dan menjamin siapa pun tidak dikriminalisasi. Karena sedang melaksanakan hak kebebasan berekspresi dan beropini.
"Kami juga meminta agar Ravio didampingi penasihat hukum dan memastikan adanya pengusutan atas peretasan telepon Ravio secara efektif dan transparan,” tegas Aldo.
Sementara itu, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Argo Yuwono menyatakan, pihaknya menangkap Ravio karena adanya laporan masyarakat berinisial DR kepada Polda Metro Jaya. Pelapor mengaku menerima pesan dari aplikasi WhatsApp dari Ravio yang berisi ajakan kerusuhan.
"Yang bersangkutan kemudian kita amankan pada saat mau memasuki kendaraan berpelat CD, diplomatik dari Kedutaan Belanda," beber Argo.
Sebelumnya, aktivis Ravio Patra, ditangkap polisi atas dugaan menyebarkan pesan berantai dengan konten provokasi. Ravio merupakan anggota Open Government Partnership Steering Committee (OGP SC).
Ravio sempat mengkritik Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar yang diduga kuat terlibat konflik kepentingan dalam proyek-proyek pemerintah di Papua. Ia juga sempat menuliskan kritiknya tentang penanganan COVID-19 di sebuha media online.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, membenarkan penangkapan tersebut. Menurutnya, Ravio diringkus aparat pada Rabu (22/4) malam.
"Iya, kejadian penangkapannya pada 22 April 2020 antara pukul 19.15 sampai 21.00 WIB, waktu pastinya tidak bisa ditentukan," kata Damar dikonfirmasi, Kamis (23/4).
Damar menjelaskan, penangkapan berawal ketika Ravio bercerita kepada dirinya bahwa WhatsApp-nya diretas oleh seseorang. "Saat Ravio coba menghidupkan WA, muncul tulisan 'You've registered your number on another phone', lalu dicek ke pesan masuk SMS, ada permintaan pengiriman OTP," ujarnya.
Damar kemudian langsung melaporkan ke pihak resmi WhatsApp. Kepada Damar, Head of Security WhatsApp membenarkan terjadi pembobolan.
Menurut Damar, pelaku pembobolan menemukan cara mengakali nomer mereka untuk bisa mengambil alih Whatsapp yang sebelumnya didaftarkan dengan nomor Ravio. Karena OTP dikirim ke nomer Ravio, besar kemungkinan pembobol sudah bisa membaca semua pesan masuk lewat nomer tersebut.
Setelah dua jam, WhatsApp Ravio berhasil dipulihkan. Namun, selama dikuasai “peretas”, pelaku menyebarkan pesan palsu berisi sebaran provokasi. Di mana, bunyi pesannya adalah
‘KRISIS SUDAH SAATNYA MEMBAKAR!
AYO KUMPUL DAN RAMAIKAN 30 APRIL AKSI PENJARAHAN NASIONAL SERENTAK, SEMUA TOKO YG ADA DIDEKAT KITA BEBAS DIJARAH’
"Saya katakan motif penyebaran itu adalah plotting untuk menempatkan Ravio sebagai salah satu yang akan membuat kerusuhan," tukas Damar.
Sumber: JawaPos.com
Editor: Erizal