JAKARTA (RP)- Usulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan sementara pendaftaran haji kian menghangat. Kementerian Agama (Kemenag) sudah menghitung jika usulan tersebut benar-benar dijalankan, maka moratorium atau penghentian pendaftaran haji bisa berdurasi delapan tahun. Perkiraan ini muncul karena sampai sekarang Kemenag mencatat panjang antrean haji mencapai 1,6 juta calon jamaah haji (CJH).
Ditemui usai penandatanganan MoU dengan Kejaksaan Agung di Jakarta, Rabu (22/2), Sekretaris Jendral (Sekjen) Kemenag Bahrul Hayat menuturkan, masyarakat pasti bisa heboh andai keputusan moratorium ini digulirkan. Dia masih beralasan, usulan moratorium haji ini merupakan langkah mundur dalam pengelolaan haji.
Menurut Bahrul, penyelenggaraan haji sudah berjalan kondusif dengan sistem antrian ini. Dengan sistem ini, masyarakat bisa mendapatkan kepastian kapan mereka berangkat ke tanah suci. Walaupun di sejumlah provinsi ada panjang antreannya yang mencapai belasan tahun. ‘’Masyarakat pasti nanti ada yang bertanya, kenapa saya punya niat kok tidak boleh mendaftar haji,’’ katanya.
Dia khawatir moratorium haji nantinya malah melanggar hak masyarakat untuk beribadah. Analisa sementara, ada dua alasan yang menyebabkan munculnya ide moratorium pendaftaran haji ini. Yaitu terkait panjang antrean yang tidak karuan dan potensi penyelewengan bunga simpanan dari setoran awal para jamaah.
Terkait urusan panjang antrean, Bahrul mengatakan, tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di sejumlah negara yang menerapkan sistem antrean, juga mendapati persoalan panjang antrean calon jemaah haji (CJH). Bahrul mencontohkan, saat ini di Iran panjang antrean CJH mencapai 16 tahun. Sementara di Turki, panjang antreannya sekitar 10 tahunan.
Antrean CJH memang menjadi persoalan yang pelik di republik ini. Kemenag sendiri berkilah sudah memiliki formulasi jitu untuk menekan panjang antrean. Di antaranya adalah, terus meminta kuota tambahan kepada pemerintah kerajaan Arab Saudi. Nah, kuota tambahan inilah yang dijadikan alat bagi Kemenag untuk memangkas panjang antrean. ‘’Penggunaan kuota tambahan ini kami prioritaskan bagi jamaah lansia,’’ ujar Bahrul.
Kondisi haji musim 2011 lalu, Indonesia memiliki kuota haji pokok sejumlah 211 ribu. Kuota ini lantas dibagi untuk jamaah haji reguler sebesar 194 ribu kursi. Lalu jamaah haji khusus (BPIH) mendapatkan kuota sejumlah 17 ribu kursi. Setelah melobi pemerintah kerajaan Arab Saudi, pemerintah Indonesia mendapatkan kuota tambahan sebesar 10 ribu kursi. Kuota tambahan ini lantas dipecah menjadi dua. Untuk jamaah haji reguler mendapatkan tambahan 7.000 kursi. Kemudian untuk jamaah haji khusus (BPIH) ditambah 3.000 kursi.
Meskipun jumlahnya kecil, kuota tambahan ini jumlah sedikit tetapi diklaim bisa memangkas panjang antrean. Khususnya, untuk membantu para CJH lansia yang mendapatkan nomor antrean belakangan bisa berangkat haji lebih dulu. Meskipun begitu, Bahrul mengatakan upaya memangkas antrean CJH dengan memanfaatkan kuota tambahan ini belum berdampak kentara.
Alasan kedua yang memicu desakan moratorium adalah tata kelola duit setoran CJH. Bahrul mengatakan, setiap tahun ada audit khusus oleh BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) untuk anggaran haji. Pada penyelenggaraan haji 2010, Kemenag mendapatkan opini disclaimer oleh BPK. Sementara audit penyelenggaraan haji 2011 belum dikeluarkan.
Bahrul mengatakan urusan penggunaan dana simpinan beserta bunga simpanannya sudah sesuai aturan. Bahkan, penggunaannya juga sudah mendapatkan persetujuan DPR. ‘’Kita tidak bisa serta merta menggunakan dana itu tanpa persetujuan DPR,’’ kata dia.
Selama itu, dana hasil bunga simpanan menurut Bahrul dikembalikan lagi ke CJH. Dana hasil bunga simpanan ini digunakan di antaranya untuk mensubsidi ongkos pemondokan di Tanah Suci. Selain itu juga untuk menalangi biaya pembuatan paspor. Kemudian dana hasil bunga simpanan ini juga digunakan untuk biaya kesehatan dan operasional jamaah selama transit di asrama haji.
Menurut Bahrul, biaya yang ditanggung 100 persen oleh CJH adalah tiket pesawat dan sebagian kewajiban ke pemerintah Arab Saudi. Tahun lalu, setiap CJH membayar 100 dolar AS (Rp1 juta) untuk pemerintah kerajaan Arab Saudi. Sisanya sejumlah 177 dolar AS (Rp1.170.000) per CJH ditalangi oleh dana hasil bunga simpanan. ‘’Intinya dana hasil simpanan itu kita kembalikan lagi untuk kepentingan jamaah,’’ kata dia.
Menag Suryadharma Ali mengatakan, kementeriannya memilih untuk menguji dulu usulan yang dilontarkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas itu.
‘’Ya terserah KPK punya pandangan mana yang baik. Kami uji dulu,’’ kata Suryadharma sebelum sidang kabinet di Kantor Presiden, kemarin (22/02). Termasuk yang akan diuji, kata dia, adalah upaya untuk menghindari penyelewenangan dana yang disetor para calon jamaah haji.
Suryadharma mencontohkan, calon jamaah haji bisa menyetor dananya pada saat mau berangkat ke Tanah Suci. ‘’Barangkali ya untuk menghindari penyelewengan jangan sampai ada uang satu rupiah pun di Kementerian Agama. Bisa jadi ada pikiran seperti itu,’’ tuturnya.
Namun, lanjut dia, opsi semacam itu mempunyai konsekuensi yang harus ditanggung. ‘’Biaya haji bisa lebih mahal dan pengaturannya bisa lebih ruwet,’’ kata mantan Menkop dan UKM di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid satu itu. Sementara saat ini, dengan menyetor lebih dulu melalui bank, calon jamaah bisa tahu tahun kapan akan berangkat naik haji.
Suryadharma menolak jika dibandingkan pengelolaan ibadah haji dengan negara lain, seperti Malaysia. Pasalnya, jumlah jamaah haji antara kedua negara jauh berbeda. ‘’Malaysia hanya 20 ribu, kita 221 ribu. Nyari tempat saja tidak mudah,’’ dalihnya.
Suryadharma mengatakan, biaya ibadah haji harus realistis. Misalnya, jika ditetapkan biaya haji sebesar Rp40 juta, maka jumlah itu yang harus dibayar calon jamaah haji. Suryadharma malah menyebut, adanya uang yang mengendap bisa memberikan keuntungan untuk membantu meningkatkan pelayanan ibadah haji.
‘’Antara lain pengurangan biaya-biaya yang seharusnya dibayar oleh jamaah haji,’’ kata ketua umum PPP itu. selain itu, ada perhitungan yang dilakukan bersama dengan DPR dan diaudit oleh BPP.
Di bagian lain, Ketua MUI Bidang Fatwa Ma’ruf Amin mengatakan. usulan moratorium perlu dikaji lebih mandalam. ‘’Harus dikaji maslahat dan mudhorotnya (keuntungan dan kerugian, red),’’ katanya. Ma’ruf menjelaskan, secara kelembagaan MUI belum menentukan sikap resmi terkait usulan moratorium tersebut.
Sementara itu, Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim merespon positif usulan KPK untuk menggelar moratorium pendaftaran haji. Kalau dinilai moratorium bisa membuat penyelenggaraan haji lebih baik dan mengurangi korupsi, lebih baik dilakukan. ‘’Langkah itu tidak melanggar HAM karena tidak mencabut hak untuk beragama,’’ ujarnya kepada JPNN, Rabu (22/2) kemarin.
Menurutnya, untuk melindungi kepentingan yang lebih besar pemerintah boleh melanggar hak-hak itu. Apalagi, jika langkah antisipasif tidak dilakukan kerugian yang ditimbulkan bagi calon jamaah haji bisa lebih besar. Jamaah, lanjutnya, butuh kepastian dalam beribadah haji termasuk uang mereka bakal dikorupsi atau tidak.
Itulah mengapa kalau KPK merasa moratorium penting untuk dilakukan, ada baiknya segera dikomunikasikan. Diatur dengan detail apa saja yang perlu dilakukan dengan menggandeng instansi terkait. Ifdal juga meminta agar masyarakat mengerti kalau langkah itu memang perlu dilakukan. ‘’Bukan mencabut hak beragama kok,’’ tegasnya.(wan/fal/jpnn/ila)