JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Sorotan terhadap Mahkamah Agung (MA) yang memutuskan bahwa aset First Travel (FT) dirampas negara terus bermunculan. Kali ini disampaikan Komisi VIII DPR. Mereka juga mempertanyakan pengawasan Kementerian Agama (Kemenag).
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily menyampaikan, putusan MA merupakan sesuatu yang aneh dan janggal.
”Negara tak dirugikan sepeser pun. Kok malah aset FT dirampas negara,” ujar Ace dalam diskusi di Media Center DPR kemarin. Menurut dia, negara justru lalai dalam pengawasan penyelenggaraan umrah. Seharusnya negara memproteksi calon jamaah umrah. ”Negara seperti ingin cuci tangan,” ungkap politikus Partai Golkar itu.
Sebenarnya, lanjut dia, kasus FT terjadi karena ketidakmampuan negara dalam memantau, mengawasi, dan memberikan perlindungan terhadap warga yang ingin melaksanakan umrah. Komisi VIII sudah beberapa kali memanggil para pejabat Kemenag. Saat itu belum ada aturan secara khusus terkait dengan penyelenggaraan umrah, termasuk First Travel atau travel-travel lainnya.
Ace menyampaikan, kala itu sebagian besar penyelenggara umrah menarik dana masyarakat tanpa dikontrol pemerintah. ”Misalnya, bagaimana audit keuangan dari setiap penyelenggara travel tersebut,” ucap ketua DPP Partai Golkar tersebut. Jadi, sejak awal pemerintah lalai.
Pria kelahiran Pandeglang, Banten, itu menyebutkan, setelah ini pihaknya memanggil Kemenag untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih menjelaskan, ada kekhilafan hakim atas putusan tersebut. Tidak ada satu aset pun yang menjadi milik negara, tetapi kenapa negara menyitanya. Padahal, para korban juga menuntutnya. Memang, kata dia, korban sempat menolak karena nilai asetnya hanya sekitar Rp 40 miliar. Padahal, nilai kerugiannya hampir Rp 1 triliun. Mereka akan sulit membaginya jika aset itu diserahkan kepada korban.
Namun, lanjut Yenti, hal itu tidak bisa dijadikan dasar hakim untuk memutuskan aset travel tersebut disita negara. Menurut dia, kasus itu berbeda dengan korupsi yang hartanya bisa disita negara. Korban FT sama dengan korban penggelapan. Jadi, uangnya harus dikembalikan kepada para korban. ”Yang berhak adalah korban yang tertipu,” tegasnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Mukri menjelaskan, banyak pertimbangan yang diambil sebelum instansinya membuat putusan terkait dengan aset FT. Selain menunggu kajian langkah terobosan yang perlu diambil, Kejagung menanti putusan perkara perdata di Pengadilan Negeri Depok pekan depan. ”Kami lihat seperti apa putusannya. Makanya, kami juga tunggu itu,” terangnya kemarin.
Instansinya, lanjut dia, membutuhkan pertimbangan-pertimbangan matang sebelum mengambil putusan.
Total aset yang disita penegak hukum atas kasus itu hanya sekitar Rp 40 miliar. Hal tersebut terungkap pada akhir Desember 2017.
Saat itu bos FT Andika Surachman melalui kuasa hukumnya, Rusdianto Matulatuwa, meminta aset yang disita senilai Rp 40 miliar tersebut dikembalikan. Tujuannya, aset-aset tersebut bisa diuangkan untuk memberangkatkan jamaah. Nilai aset itu jelas lebih kecil ketimbang total kerugian jamaah.
Para tersangka berhasil mendapatkan 93.295 orang. Total uang yang sudah dibayarkan jamaah mencapai Rp 1.319.535.402.852. Namun, yang diberangkatkan hanya 29.985 jamaah. Sedangkan 63.310 jamaah periode November 2016 hingga Mei 2017 batal berangkat. Total uang jamaah yang tidak diberangkatkan tetapi sudah setor adalah Rp 905.330.000.000.
Namun, para korban merasa nilai aset yang disita seharusnya lebih dari Rp 40 miliar.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman