RUU Perdagangan Dinilai Berpihak Kepentingan Asing

Hukum | Selasa, 22 Oktober 2013 - 20:30 WIB

RUU Perdagangan Dinilai Berpihak Kepentingan Asing
Ichsanuddin Noersy

Riau Pos Online-Pengamat politik ekonomi Ichsanuddin Noersy menegaskan, naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan yang disampaikan pemerintah kepada Komisi VI DPR RI ini adalah neoliberal, untuk kepentingan asing, dan tak ada usaha untuk menciptakan kedaulatan ekonomi bangsa.

Apalagi kata dia, ada 29 UU yang terkait dengan RUU Perdagangan ini, dan itu sama sekali

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

tidak disinggung, sehingga seolah-olah RUU ini berdiri sendiri, dan tak terkait dengan UU

yang lain.

“Jadi, RUU itu bukan untuk menegakkan konstitusi, karena tidak disusun berdasarkan

kekeluargaan. Maka wajar kalau naskah RUU ini tunduk pada pasar bebas dunia atau WTO,

karena WTO memang tak pernah menyinggung kedaulatan ekonomi, melainkan hanya ketahanan ekonomi. Di mana Indonesia merupakan pasar potensial asing,” ujar Inchsanuddin dalam diskusi bertajuk "RUU Perdagangan" bersama Arya Bima Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dan pengajar Fakultas Ekonomi UI Surjadi di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (22/10).

Karena itu lanjut dia, kalau RUU ini dibiarkan lolos begitu saja, maka sama dengan

menggadaikan kedaulatan ekonomi bangsa ini kepada asing. Apalagi konsep perlindungannya

semua, yaitu hanya ketika terjadi kelangkaan dan harga-harga barang kebutuhan pokok naik,

pemerintah baru turun tangan. “Tak ada perlindungan jangka panjang, karena tergantung pada

kasus kelangkaan dan harga-harga naik, bagaimana?” katanya mempertanyakan.

Ditambahkannya, untuk mengukur sebuah aturan perundang-undangan itu berpihak kepada rakyat sesuai amanat konstitusi, dan bukan untuk kepentingan asing, khususnya, maka DPR harus berani memerintahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit seluruh perjanjian perdagangan internasional, dan RUU ini harus sejalan dengan amanat konstitusi.

Menanggapi hal itu, Arya Bima mengatakan, pihaknya siap terutama Fraksi PDIP untuk meminta BPK melakukan audit perjanjian perdagangan internasional yang sudah diatur untuk memastikan sejalan atau tidaknya dengan amanat konstitusi.

"FPDIP DPR siap melakukan itu. Sebab, dampak dari liberalisasi ekonomi sekarang ini

Indonesia mengalami defisit transaksi sampai 70 persen, karena lebih banyak impor daripada

ekspornya sejak Januari 2010 sampai 2013 ini. Untuk itu, deindustrialisasi itu harus dievaluasi,” ungkapnya.

Menurut Arya Bima, RUU Perdagangan yang sudah diperbaiki oleh pemerintah, yang terdiri dari 438 daftar inventarisasi masalah (DIM), akan dibahas sampai Januari 2014. “Dalam kurun waktu itu pasti akan banyak berbagai kepentingan yang masuk. Karena itu harus dikawal oleh masyarakat agar menghasilkan sebuah UU yang berpihak kepada rakyat sesuai amanat konstitusi, dan bukannya untuk kepentingan asing atau liberalisasi,” ujarnya.

Sebelumnya RUU yang diajukan oleh Kemendag Gita Wiryawan tersebut sempat dikembalikan oleh Komisi VI DPR RI, dan sudah diperbaiki khususnya yang berbau neolib, dan bertentangan dengan amanat UUD 1945. RUU ini akan mengatur masalah perdagangan terkait dengan kedaulatan pangan, pedagang kecil dan menengah (UKM), termasuk masuknya ritel seperti Alfamart, Indomart, dan mall-mall yang sudah masuk kabupaten/kota di Indoensia.

FPDIP sendiri kata Arya Bima akan mencermati RUU ini secara ideologis, misalnya dalam

memproteksi pasar-pasar tradisional. “Di mana kebijakan ritel yang diputuskan dengan

Perpres per 1 Januari tersebut harus dievaluasi, karena terbukti kompetisi perdagangan kita

tak berimbang. Yaitu banyak dikuasai barang-barang impor, sedangkan impor kita minus.

Sehingga banyak terjadi kelangkaan kebutuhan pokok masyarakat akhir-akhir ini termasuk

kedelai,” tambahnya.

Sementara itu Surjadi mengingatkan jika banyak sebuah RUU yang mempunyai spirit

nasionalisme, tapi begitu dituangkan dalam perundang-undangan malah bertabrakan dengan UU yang lain, sehingga terjadi tumpang-tindih peraturan. Termasuk UU otonomi daerah yang

mengatur hubungan pusat dan daerah, juga PP No.38/2007 yang mengatur kewenangan pemerintah pusat dan daerah. “Belum lagi masih banyak masalah internal di Kemendag RI sendiri, yang terjadi antar Dirjen, dan dengan kementerian terkait seperti perindustrian,” pungkasnya. (yud)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook