474 Kepala Daerah Terlibat Pidana

Hukum | Rabu, 21 November 2012 - 09:23 WIB

JAKARTA (RP) - Penyalahgunaan jabatan publik untuk mengeruk keuntungan pribadi, tampaknya, semakin banyak saja.

Dalam laporan singkat yang diterima Mendagri Gamawan Fauzi Senin (19/11) lalu ada 474 pejabat daerah yang terseret tindak pidana. Mayoritas penyimpangan itu adalah melakukan tindak pidana korupsi.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Data tersebut disampaikan Gamawan pada acara diskusi antara Mendagri, Kemenkum HAM, ICW, dan KPK di Jakarta, Selasa (20/11). Dia menyebutkan, data tersebut baru diperoleh dari laporan sekretariat daerah (setda).

Rencananya, data tersebut dilengkapi lagi, termasuk dari kejaksaan. ‘’Sekarang saja sudah ada 474 (pejabat daerah). Jangan-jangan pekan depan sudah seribu,” ujarnya.

Dari 474 pejabat daerah tersebut, 95 pejabat menjadi tersangka, 49 pejabat menjadi terdakwa, dan 330 menjadi terpidana.

Menurut Mendagri, pemerintah pusat bertindak tegas terhadap pejabat bermasalah tersebut. Sebagian besar pejabat itu sudah diberhentikan. Ada yang dicopot dan tidak menjabat lagi.

Dia menjelaskan, kasus yang menjerat ratusan pejabat daerah itu beragam. Namun, dia mengaku sangat cemas setelah tahu banyak yang tersandung masalah korupsi. Apalagi, beberapa di antaranya kembali berstatus pejabat karena masih menduduki posisi strategis.

Oleh sebab itu, dalam waktu dekat pihaknya bakal memperbaiki undang-undang yang ada. Sebab, peraturan yang ada kerap ditafsirkan berbeda. Terutama, saat ada kata-kata multitafsir, seperti dapat. “Itu kan relatif, bisa iya bisa tidak. Jadi, harus ada perbaikan,” imbuhnya.

Muaranya, pejabat bakal dicopot atau diberhentikan karena kasus pidana. Menurut Gamawan, selama ini ada perlawanan dari pejabat bermasalah tersebut. Begitu juga saat ada opsi apakah pejabat nakal itu bakal diberhentikan secara terhormat atau tidak. Termasuk perlu tidaknya mereka mendapatkan dana pensiun atau hanya gaji.

Selama ini dirinya menghadapi dilema untuk bersikap tegas. Putusan pemecatan rawan digugat. Biasanya pejabat itu tidak rela begitu saja posisinya lepas. Jadi, dia akan berjuang keras bahkan hingga melakukan peninjauan kembali (PK).

Menurut Gamawan, fakta yang dia ketahui, PK itu terlalu mudah diterima Mahkamah Agung (MA).

Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena semua itu wewenang MA. Dia hanya menyayangkan kalau ada kasus pejabat daerah yang PK-nya bisa dilakukan hingga dua kali. “Kalau seperti ini, berarti tidak ada putusan tetap dong,” katanya.

Kegundahan Mendagri itu mendapat dukungan Menkum HAM Amir Syamsuddin. Dia membenarkan bahwa PK yang diajukan pejabat bermasalah selama ini relatif mudah diterima dan dikabulkan.

Padahal, dia ingat betul kalau belasan tahun ke belakang, PK sangat sulit dilakukan. “Sekarang, tanpa kehadiran terdakwa juga bisa dilakukan sidang PK,” katanya.

Dia berharap MA bisa lebih selektif. Ini supaya aturan yang ada bisa ditegakkan dengan cepat dan tepat.

Apalagi, proses PK juga membutuhkan waktu lama. Kalau itu sulit, Amir ingin agar sidang PK tidak mudah menjatuhkan atau mengalahkan putusan sidang sebelumnya.

Menyikapi pernyataan Mendagri dan Menkum HAM, Hakim Agung Djoko Sarwoko memaparkan, pihaknya telah mengambil langkah untuk memperketat penerimaan permohonan PK.

Ketua Kamar Pidana MA tersebut mengatakan, MA telah menggelar rapat pleno kamar yang salah satunya membahas soal PK.

“Kami sudah sepakat untuk PK yang pemohonnya tidak hadir dan tidak menandatangani berita acara sidang, harus dinyatakan tidak dapat diterima (permohonan PK-nya),” kata Djoko kepada koran ini kemarin.(dim/izl)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook