KPK Sesalkan DPRD-Pemerintah Mengebut Pengesahan Undang-Undang

Hukum | Jumat, 20 September 2019 - 14:51 WIB

KPK Sesalkan DPRD-Pemerintah Mengebut Pengesahan Undang-Undang
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. (foto: Dery Ridwansah/ JawaPos.com)

JAKARTA(RIAUPOS.CO)– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyesalkan sikap DPR dan pemerintah yang terkesan mengebut pengesahan sejumlah Undang-Undang yang dinilai mengancam kinerja pemberantasan korupsi. Mulai dari revisi UU KPK, RUU KUHP, hingga RUU Pemasyarakatan.

Salah satu poin dalam revisi UU nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan yang telah disepakati pemerintah dan DPR yakni meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Nantinya, pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana kasus kejahatan luar biasa, salah satunya kasus korupsi tidak perlu atas rekomendasi penegak hukum seperti KPK dan tidak perlu menyandang status Justice Collaborator.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

“Kalau kita lihat dalam dua minggu ini terjadi hal yang luar biasa yang berhubungan antikorupsi. Pertama, perubahan UU KPK, KUHP kalau dulu hukuman minumun 4 tahun sekarang jadi 2 tahun. Sekarang ada RUU Pemasyarakatan yang mengatakan surat dari KPK untuk terpidana tidak dibutuhkan untuk remisi,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (19/9).

Laode menuturkan, draf RUU Pemasyarakatan terkesan menolerir pemberantasan korupsi, bahkan menyamakan pelaku korupsi dengan kejahatan biasa seperti pencuri sendal. Padahal, tindak pidana korupsi, narkoba dan terorisme disebut sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.

“Saya pikir menyayangkan selama ini kalau kita menganggap korupsi itu serious crime bahkan ada ordinary crime. Tapi perlakuan pada koruptor sama dengan pencuri sendal? Seharusnya enggak cocok,” sesalnya.

Menurut Laode, sejumlah aturan yang pada beberapa hari terakhir cepat dilakukan perubahan, ini mengancam upaya pemberantasan korupsi. Bahkan secara sistematis melumpuhkan kinerja pemberantasan korupsi.

“Menurut saya sistematis. Sekali lagi kami ini masyarakat penegakan hukum kami tidak bisa buat UU, kami hanya menjalankan, tapi kami kurang tahu. Masyarakat menghendaki hal yang sama atau tidak. Masyarakat bisa tanya ke pemerintah dan DPR,” jelas Laode.

Untuk diketahui, DPR dan Pemerintah sepakat untuk segera mengesahkan revisi UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Kesepakatan itu diambil dalam Rapat Kerja antara Komisi III dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

Salah satu poin yang disepakati yakni terkait pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, seperti kasus korupsi. Rancangan UU Pemasyarakatan meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Dengan demikian, pemberian pembebasan bersyarat kembali ke PP Nomor 32 Tahun 1999. Padahal, dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 mengatur syarat pemberian pembebasan bersyarat kepada pelaku kejahatan luar biasa, seperti menyandang status JC dan rekomendasi dari aparat penegak hukum.

Pasal 43A mengatur syarat bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau dikenal istilah justice collaborator .

Kemudian Pasal 43B ayat (3) mensyaratkan adanya rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dalam memberikan pembebasan bersyarat.

Editor : Deslina

Sumber: Jawapos.com









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook