JAKARTA (RP)- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi UU Perkawinan menimbulkan polemik di kalangan ulama. Sebagian ulama menilai putusan itu baik karena melindungi nasib anak-anak dari potensi ditelantarkan sang bapak. Di bagian lain, para ulama memandang putusan ini justru melegalkan praktik perzinaan atau kumpul kebo.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Fatwa, Ma’ruf Amin, di Jakarta, Ahad (19/2) mengatakan, secara kelembagaan MUI belum mengambil sikap terkait putusan ini. Tapi, secara pribadi dia mengatakan memang putusan MK ini menimbulkan dua perbedaan di kalangan ulama sendiri.
Secara pribadi, Ma’ruf mengatakan, putusan MK itu positif jika niatnya untuk melindungi anak-anak hasil nikah siri. Untuk masalah perlindungan anak, dia menegaskan jika para ulama kompak mendukung anak memiliki hak perdata kepada pihak ibu dan bapak. ‘’Anak memang harus dilindungi,’’ ujarnya.
Ma’ruf beranggapan, ada baiknya jika putusan MK itu terbatas pada yang sudah menikah siri saja. Sedangkan anak yang lahir karena hubungan badan di luar pernikahan tetap tidak diberi keistimewaan. Dia lantas menuding keputusan MK mengabulkan gugatan karena yang memohon adalah Machica Mochtar.
Bukan persoalan dia tokoh atau artis, yang dimaksud Ma’ruf adalah statusnya dengan almarhum Moerdiono pernah menikah siri. Dia tidak yakin keputusan yang sama bakal muncul kalau yang memohon adalah orang yang melakukan zina. ‘’Karena secara agama pernikahan mereka sah. Otomatis hak anak diakui secara agama,’’ urainya.
Ujung-ujungnya, dia menyebut kalau tidak adanya pembatasan aturan kepada siapa aturan itu dijalankan bakal mendorong perzinaan dan kumpul kebo. Perbuatan yang disebut Ma’ruf melanggar hukum agama atau hukum formal.
‘’Bagi pasangan yang terlibat kumpul kebo, wajib dijatuhi hukuman,’’ jelasnya.
Kekhawatiran itu dijelaskan oleh Amidhan, petinggi MUI lainnya. Dia lantas memberi contoh tentang pria berkantong tebal. Menurutnya, keputusan MK bisa dijadikan tameng untuk bisa seenaknya menghamili perempuan-perempuan tanpa ikatan pernikahan. Entah itu nikah secara resmi dengan dicatatkan di KUA, atau nikah secara siri.
‘’Selama dia punya uang dan bisa memenuhi hak perdata anaknya, boleh berzina dong,’’ ujar salah satu Ketua MUI itu. Itulah sebabnya, pihak MUI menuntut ada tindak lanjut lebih rinci dari pemerintah. Dia khawatir kalau belum satu suara justru menyulitkan proses di bawah.
Bagi Amidhan, pokok utama dalam urusan ini adalah pernikahan. Urusan hak perdata anak merupakan cabang dari urusan pernikahan tersebut. Dia mengatakan penetapan hak perdata bagi anak-anak yang lahir di luar pernikahan ini masuk ranah fiqih. ‘’Pada ranah fiqih ini sudah biasa muncul dua pandangan yang berbeda,’’ kata dia.
Untuk itu, MUI mendorong ada pertemuan lebih lanjut dengan pemerintah terkait putusan MK ini. Pertemuan ini diharapkan bisa mengambil langkah-langkah teknis sebagai tindak lanjut putusan MK tadi. Misalnya, apakah anak di luar nikah bisa mendapatkan akte lahir. Sebab, persyaratan akte lahir ini adalah adanya akte nikah.
Persoalan berikutnya, apakah ibu dan bapak yang bermasalah tadi harus disatukan dalam pernikahan resmi atau tidak sebelum mengurus akte anak. ‘’Kami siap untuk berdialog merumuskan ketentuan-ketentuan berikutnya,’’ janji Amidhan.
Terpisah, juru bicara MK, Akil Mochtar, mengatakan kalau diskusi itu bisa dilakukan antar lembaga. Namun, dia tidak sepakat kalau keputusan MK, Jumat (17/2) itu dianggap melegalkan perzinahan. ‘’Semangatnya pada perlindungan anak yang lahir karena perkawinan tidak tercatat secara sah,’’ katanya kepada JPNN.
Dia beralasan kalau tindakan perzinahan atau kumpul kebo adalah tindakan orang tua yang tidak menurun pada anak. Artinya, lanjut Akil, anak tidak mungkin ada tanpa perbuatan. Bukan persoalan lahir dari perkawinan yang sah atau tidak, melainkan faktor perbuatan ayah dan ibunya.
Sebelum mengetuk palu keputusan, diakui hakim kelahiran Putussibau Kalimantan Barat itu ada perdebatan di internal MK. Tapi, semua itu selesai karena sudah semangat untuk melindungi anak lebih kuat. Termasuk semangat MK agar para lelaki hidung belang tidak seenaknya sendiri meninggalkan hasil perbuatannya.
‘’Bukan pada melegalkan tindakan tidak halal itu. Selama ini, nikah siri atau berhubungan tanpa nikah, saat anak lahir kerap tidak ada beban bagi laki-laki,’’ tuturnya.
Efeknya parah, karena meski belakangan hubungan terlarang itu terungkap, tetap tidak ada status hukum yang jelas bagi anaknya. Akil lantas menyebut tidak ada anak yang mau dilahirkan akibat hubungan terlarang. Oleh karena itu, anak-anak itu harus diberi kepastian hukum supaya orang tua tidak seenaknya. Jawaban itu sekaligus menampik tudingan kalau keputusan itu lahir karena faktor Machica yang melapor.
Baginya, meski yang memohon adalah seorang ibu tanpa pernah menikah siri pun pertimbangan MK tidak akan berubah. Kalaupun menyebabkan faktor hukum lain, tidak ada kaitannya dengan keputusan itu. Karena yang diinginkan MK murni agar tidak memutus hubungan anak dan ayah.
Kalau ada masalah lain terutama yang menyangkut agama, Akil mengatakan biar agamanya yang memberi jalan keluar. MK, katanya, tidak memasuki ranah itu. Tetapi secara kenegaraan status hukum anak tidak terbengkalai. ‘’Mahkamah memberi legalitas, agama berdampingan bisa memberikan jalan atas apa yang terjadi antara anak dan perbuatan orangtuanya,’’ tegasnya.
Untuk contoh yang disampaikan MUI tentang lelaki kaya, Akil tidak mempermasalahkan. Sebab, kalau dicari contoh akan sangat banyak. Dia juga menyebut bagaimana dengan anak korban pemerkosaan atau tindak kejahatan lain. ‘’Apakah status hukum anaknya tetap dibiarkan tanpa kejelasan?’’ tanya dia.(dim/wan/jpnn)