Jakarta (RP) - Komisi VI DPR meminta kepada pemerintah untuk mengimplementasikan UU 7/2011 tentang Mata Uang yang mewajibkan transaksi perdagangan di dalam negeri dengan menggunakan nilai tukar rupiah.
Demikian Ketua Komisi VI DPR, Airlangga Hartarto, kepada wartawan di gedung DPR, Jakarta, Kamis (19/9). Hal itu dikatakannya terkait hasil rapat kerja Komisi VI DPR dengan sejumlah pihak seperti Menteri BUMN, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Kadin, dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), kemarin malam (Rabu, 18/9).
Terkait defisit anggaran, Komisi VI DPR juga meminta agar BUMN mempelopori penggunaan mata uang rupiah dalam seluruh transaksi di dalam negeri. Airlangga mengatakan, keinginan itu didasari realitas bahwa hingga saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang secara signifikan mengurangi penggunaan dolar, misalnya dengan menerapkan kebijakan penggunaan mata uang rupiah untuk transaksi dalam negeri. Bahkan, banyak perusahan BUMN tidak menggunakan rupiah dalam melakukan transaksi dalam negeri.
"Tidak semua BUMN melakukan transaksi dengan rupiah, terutama BUMN yang memiliki peran strategis dalam infrastruktur," kata Airlangga.
Dia pun mengapresiasi kehadiran Meneg BUMN Dahlan Iskan dalam raker tersebut. Kehadiran Dahlan, menurutnya sangat penting karena impor Migas yang menjadi penyebab besarnya defisit neraca perdagangan dilakukan oleh perusahan BUMN, yakni PT Pertamina (Persero).
"Kalau kita bicarakan pelaku impor, sebagian besar dilakukan BUMN yakni US$150 juta per hari. Selain itu, Menteri BUMN kami undang karena penggunaan dolar yang paling besar adalah BUMN," kata Airlangga lagi.
Dia mengatakan, Menteri BUMN menjadi krusial karena tidak semua BUMN menggunakan rupiah sebagai transaksi dalam negeri sehingga menyebabkan keadaan yang tidak baik di tengah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Dia menambahkan, cara mengurangi ketergantungan akan impor migas yang dilakukan oleh perusahan BUMN adalah membangun refinery atau kilang minyak.
"GDP per kapita kita saat ini US$ 3.400. Kami dapat kesan untuk membangun refinery dibutuhkan insentif. Melihat GDP kita, pembangunan refinary bukan hal yang susah dilakukan. Paling tidak harus punya dua refinery untuk mengurangi ketergantungan pada impor," demikian Airlangga.(ald/rmol/jpnn)