Riau Pos Online-Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Indonesia menggugat lima Menteri RI
terhadap pembiayaan inovatif program penanaman kembali (replanting) di kebun kelapa sawit
hasil Rakernas bersama Kadin Bidang Agribisnis, Pangan, Lingkungan Hidup, Perubahan Iklim di Pekanbaru Riau 16 September 2013 lalu.
Menurut Koordinator SPKS Indonesia Mansuetus Darto Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Indonesia mencermati Rekomendasi Rakernas KADIN terkait Pembiayaan Inovatif untuk replanting Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia yang didukung pemerintah RI melalui kelima menterinya (Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Kehutanan).
SPKS memandang bahwa dukungan kelima Menteri yang menghadiri acara Rakernas KADIN di Pekanbaru 16 September 2013 terkait Pembiayaan Inovatif untuk petani kelapa sawit Indonesia harus didiskusikan dengan petani kelapa sawit sebagai aktor lain di perkebunan kelapa sawit selain pengusaha. Petani mengelola 43 perseb Perkebunan sawit Indonesia.
SPKS menilai bahwa konsep Pembiayaan Inovatif untuk replanting petani kelapa sawit
Indonesia sebagai “jebakan” baru yang diluncurkan pengusaha untuk petani kelapa sawit
dengan mendompleng Kebijakan Revitalisasi Perkebunan (Permentan No. 33/2007) dan merujuk pada slogan program PISAgro “20-20-20” dengan dukungan pemerintah RI. Sebab Pola yang di gunakan adalah pola manajemen satu atap.
Inovatif pembiayaan yang didukung oleh 5 kementrian tersebut adalah bagian dari skema
menjerat petani untuk masuk dalam perangkap sentralistik pengelolaan kebun rakyat oleh
perusahaan. Karena Pola kemitraan yang mau digunakan adalah seluruh pembiayaan atau
fasilitas kredit melalui perusahaan perkebunan dan perusahaan akan mengelola seluruh
perkebunan rakyat seperti penanaman, pengangkutan hasil, dan pemeliharaan. Perusahaan juga akan mendapatkan manajemen fee dari inisiatif pendanaan tersebut.
Pola manajemen satu atap itu saat ini tengah memiliki masalah besar. Seluruh perusahaan
yang menerapkan pola tersebut sedang berkonflik dengan petani. seharusnya ini menjadi bahan pembelajaran untuk mendorong perkebunan rakyat sebagai aktor dalam perkebunan Indonesia. Pola manajemen satu atap sebagaimana yang diterapkan oleh program revitalisasi perkebunan telah mengalami kegagalan dan penolakan di beberapa tempat oleh petani sawit. Karena Pola relasi antara inti dan petani sangat mengerdilkan posisi petani sawit.
SPKS menyerukan kepada seluruh elemen kebangsaan yang perduli terhadap petani mandiri dan plasma yang selama ini terlanjur terjepit dan terperangkap di dalam serta mencoba keluar
dari pola manajemen satu atap dan program kredit KKPA pemerintah RI, guna mengikuti dan
mempelajari skema pembiayaan inovasi tersebut dan mengundang pembahasan secara nasional, dan bukan milik sekelompok pengusaha tertentu.
SPKS mengingatkan kepada seluruh aktor yang terlibat dan perduli pada perkebunan kelapa
sawit untuk menerapkan prinsip pertanian yang baik (Good Agriculture Practices) mulai dari
pra-produksi yaitu masalah lahan perkebunan dan kesepakatan kredit pinjaman ke petani, masa produktif yaitu produktivitas dan perdagangan Tandan Buah Segar (TBS) milik petani, serta pasca produksi yaitu yang saat ini menjadi titik berat kebijakan revitalisasi perkebunan,
di antaranya program replanting.
SPKS menegaskan bahwa petani kelapa sawit Indonesia memiliki posisi dan proposal dalam
pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yaitu:
a) Dengan jumlah ±43 persen dari seluruh produsen kelapa sawit di Indonesia, petani kelapa sawit ingin melakukan replanting secara mandiri, dan menjalankan kerja sama bisnis yang saling menguntungkan dengan pihak perusahaan perkebunan.
b) Petani kelapa sawit di Indonesia tidak bersedia lagi menjadi objek perkebunan kelapa
sawit, dan ingin tetap memiliki legalitas tanah garapan, melakukan pekerjaan berkebun
secara mandiri, serta mengelola hasil perkebunan dalam kapasitas sebagai mitra bisnis
perusahaan perkebunan.
c) Petani kelapa sawit di Indonesia menghargai dan menjunjung tinggi prinsip bertani yang
baik, dengan kemudahan akses input agronomi dan keuangan oleh perusahaan, perbankan, dan pemerintah Indonesia dalam memperoleh bibit dan pupuk yang berkualitas, serta kredit dengan jumlah dan masa pengembalian yang realistis, tanpa harus menggadaikan kepemilikan lahan selama seumur tahun tanam kelapa sawit yang menghilangkan identitas petani.
d) Petani kelapa sawit di Indonesia menolak manajemen satu atap yang mengkondisikan petani menjadi buruh perkebunan di lahannya sendiri dan objek pembangunan perkebunan kelapa sawit serta bukan mitra sejajar dengan perusahaan dan pemerintah.
SPKS mempelajari dan mempertanyakan tudingan serta pernyataan dari kelima menteri wakil
pemerintah RI di dalam Rakernas KADIN dimaksud yang seolah mengumandangkan genderang perang terhadap Organisasi Non-Pemerintah (NGO), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi
Masyarakat (ORMAS) yang membela kepentingan seluruh rakyat Indonesia, terutama dalam hal ini petani dan pekebun Indonesia, dan bukan sekelompok pengusaha sektor tertentu, misalnya industri kertas dan kelapa sawit.
SPKS menyatakan sikap dan posisinya akan melawan seluruh keserakahan, ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan oleh siapapun yang mengatasnamakan dan membela kelompok industri tertentu dan bukan petani, pekebun, yang notabene adalah rakyat kecil di Indonesia.
SPKS memperjuangkan komitmennya untuk terus mendukung usaha pertanian dan perkebunan yang bermartabat dan berwawasan lingkungan (pro-environment), berkeadilan sosial (pro-job & pro-poor), serta berkembang secara ekonomi (pro-growth) di seluruh sektor pertanian pangan dan non-pangan Indonesia.(azf)