JAKARTA (RP) - Pemerintah membuka banyak jalan mengatasi persoalan yang terjadi dalam pendistribusian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
Dalam kasus kekurangan dana akibat kelebihan penerima karena kasus tertentu, Pemerintah Daerah (Pemda) diminta menggunakan dana talangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mengatakan pihaknya sudah mengeluarkan dua aturan dalam bentuk Instruksi mendagri nomor 541/3150/SJ tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembagian Kartu Perlindungan Sosial dan Penanganan Pengaduan Masyarakat dan Surat Edaran (SE) Mendagri nomor 541/3674/SJ tanggal 15 Juli 2013 perihal Bantuan Untuk Keluarga Miskin di Luar Daftar BLSM Pusat.
‘’Sudah kita buat aturannya kemarin. Cara penggunaan dana di luar BLSM pusat itu daerah boleh menganggarkannya dan menambah jika daerah menganggap ada yang harus ditambah,” ungkapnya usai membuka Rapat Kerja V Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) di Jakarta, Kamis (18/7).
Dalam kondisi daerah tertentu meyakini bahwa warganya layak menerima BLSM namun tidak terhitung sebelumnya, kata Gamawan, Instruksi dan SE Mendagri itu boleh dipergunakan.
Hal tersebut untuk menghindari pemilihan jalan pintas dengan cara memotong nominal BLSM dan potongannya dialokasikan kepada pihak lain yang juga berhak menerima bantuan tunai tersebut.
‘’Kalau ada di luar paket sekitar 15,5 juta kepala keluarga RTS (Rumah Tangga Sasaran penerima BLSM) itu kita harapkan partisipasi provinsi, kabupaten, dan kota. Jalan keluarnya bukan memotong nilai BLSM itu dan memindahkan ke yang lain, bukan!” tegasnya.
Dalam aturan yang diatur Kemendagri, dana talangan untuk BLSM boleh diambil dari APBD. Jika belum tertampung maka bisa dilakukan melalui APBD Perubahan dan jika tidak memungkinkan juga atau dalam arti APBD Perubahannya sudah terjadi maka bisa melalui peluncuran Peraturan Gubernur.
“Dibuat saja dulu nanti dipertanggungjawabkan di akhir. Jadi sudah ada jalan keluar semua,” yakinnya.
Dengan keluarnya Peraturan Gubernur atau pejabat berwenang lain di daerah, menurut Gamawan, bisa dicairkan dana dari pos lain selain yang sudah ditentukan dalam APBD.
“Provinsi bisa bantu. Kalau ada partisipasi dari CSR (Corporate Social Responsibility) segala macam, silakan,” terusnya.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Restuardy Daud, mengatakan atas terbitnya Surat Edaran yang dibagikan kepada seluruh gubernur, bupati, dan walikota, itu pihaknya meminta kepada semua Gubernur untuk segera aktif melakukan pendataan terkait BLSM.
Dikhawatirkan terdapat banyak pihak yang layak menerima BLSM tetapi belum tertangani.
“Dalam Surat Edaran itu pokok isinya apabila di daerahnya masih terdapat jumlah masyarakat miskin yang layak diberi bantuan di luar BLSM pusat dihimbau kepada kepala daerah untuk memberikan bantuan melalui anggaran daerah,” jelasnya.
Polanya adalah kepala daerah diminta untuk mengalokasikan dana APBD untuk memenuhi kekurangan penerima BLSM sesuai kriteria yang telah ditetapkan apabila kuota RTS itu tidak mencukupi.
“Diutamakan supaya kepala daerah itu mendahului dalam APBDP. Sekarang kan sedang musimnya perubahan. Jadi mendahului itu supaya bisa masuk dengan cara mengubah peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD tahun anggara 2013,” ulasnya.
Selanjutnya kepada Bupati atau Walikota menerbitkan Surat Keterangan Tambahan Penerima (SKTP) BLSM bagi RTS tambahan itu untuk dasar alokasi tambahan BLSM.
Akan tetapi SKTP tersebut bukan merupakan pengganti KPS dan hanya digunakan untuk mengambil manfaat BLSM tambahan yang dibiayai oleh Pemda.
“Untuk tandanya bukan dengan KPS (Kartu Perlindungan Sosial) tapi dengan SKTP itu,” tegasnya.
Sedangkan Instruksi Mendagri difokuskan kepada pengaturan mekanisme jika terjadi kesalahan dalam pendistribusian.
“Misalnya kesalahan alamat, kesalahan karena kepala keluarga sudah meninggal, kesalahan kirim karena misalnya ternyata rumahnya sudah tergusur, alamat orang kaya tapi dapat, itu sudah dibuat mekanismenya,” terangnya.
Sementara itu, dinilai tidak ada kriteria baku untuk penerima bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Pemerintah hanya isyaratkan bahwa penerima BLSM adalah warga miskin dan rentan miskin.
Sayangnya, definisi miskin sendiri tidak dijelaskan lebih rinci sehingga banyak kalangan yang merasa BLSM tidak tepat sasaran.
‘’Tidak ada kriteria baku memang,’’ ujar Sri Kusumastuti rahayu, Ketua Pokja Pengendali Klaster I Program Bantuan Sosial TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, red), di Jakarta, kemarin (18/7).
“Oleh sebab itu, tidak jarang memang jika ada penemuan penerima bantuan yang memiliki handphone dan yang lainnya. Menurut survei, setidaknya 7 dari 10 warga DKI yang memiliki handphone,” jelasnya.
Ia menilai, kriteria baku tidak akan dapat digunakan maksimal dalam pendataan tersebut. Harus ada pembanding antara rumah tangga satu dengan yang lainnya.
Misalnya, jumlah anak, pekerjaan pasangan suami istri, status dari kepala rumah tangga, dan sebagainya.
Sayangnya, hal tersebut justru menimbulkan dugaan adanya ketidaktepatan pendataan sehingga banyak BLSM yang nyasar. “Kalau memang ada yang tidak berhak tapi menerima (BLSM) itu pasti ada. Paling hanya 6 persen, tidak lebih,” ungkapnya.(gen/mia/jpnn)